Air mata itu spontan tumpah, senyum di bibirpun merekah, dan kebahagiaan yang membuncah begitu tangisan nyaring itu terdengar. Alhamdulillah nak...akhirnya engkau lahir ke dunia, dan sempurnalah ibu sebagai seorang wanita.
Raka Adhi Gunattama
Awalnya saya tak mengira kalau kebiasaan buruk saya, yaitu malas minum akan berakibat pada kondisi kehamilan. Ini berawal dari kebiasaan baru begitu hamil, yaitu beser --istilah bahasa Jawa, sering merasa kebelet pipis. Waktu itu saya punya alasan sendiri, ribet kalau sebentar-sebentar harus ke toilet untuk buang air kecil. Kalau toiletnya dekat dan gampang dicari, mungkin tak begitu masalah. Tapi kalau keberadaannya sang toilet entah dimana, repot sendiri saya. Terlebih waktu itu saya masih berstatus sebagai awak media, banyak berada dilapangan dan jalanan, karena mobilitas yang cukup tinggi.
"Ibu, minum air putih yang banyak ya, perut ibu sering terasa kenceng-kenceng kan?" Seperti itulah nasehat bidan di suatu malam, ketika saya melakukan pemeriksaan rutin kehamilan. Kalau tidak salah, kala itu kehamilan telah memasuki umur 5 bulan. Memasuki usia kehamilan 7 bulan, barulah untuk pertamakalinya saya "menikmati" apa yang disebut teknologi ultrasonografi (USG). Dari pemantauan USG, diketahui bahwa ada sedikit masalah; posisi bayi presisi bokong atau sungsang dengan posisi pantat yang bakalan keluar duluan, dan juga air ketuban yang jumlahnya sedikit dibawah normal. Istilah medisnya kalau tidak salah Oligohidramnion. Untuk penangannya waktu itu, dokter hanya menyuruh saya untuk banyak-banyak minum air putih, dan juga memperbanyak gerakan bersujud saat sholat. Selebihnya, saya tinggal menunggu hari kelahiran saja.
Sebagai tindak lanjut atas permasalahan tadi, saya pun mengajukan permohonan cuti melahirkan begitu usia kehamilan menginjak 8 bulan, dengan alasan ingin mengurangi aktivitas lapangan, dan mengusahakan agar bayi diperut saya berada pada posisi yang benar. Untunglah, pihak managemen mengabulkan permohonan saya, dan tekad saya untuk melahirkan secara normal-spontan semakin bulat. Bismillah....
Semua saran tetangga, teman, saudara, saya lakukan demi memperbaiki posisi bayi, mulai mengepel lantai tanpa bantuan alat, mencuci baju tanpa bantuan mesin, termasuk memperbanyak dan memperlama gerakan sujud. Saya pun mulai rajin menjaga asupan cairan tubuh, saya buat aturan untuk diri saya sendiri; harus minum setelah merasa berkeringat, atau setelah buang air kecil.
Memasuki bulan ke sembilan, kembali saya melakukan USG. Alhamdulillah, usaha saya membuahkan hasil. Janin terlihat sudah memasuki panggul, dengan posisi yang benar. Ketersediaan air ketuban? Relatif sedikit, tapi semoga cukup sampai waktunya melahirkan nanti. Begitu kata dokter. Maka hari-hari berikutnya adalah hari mendebarkan. Tinggal menghitung hari, menunggu waktu.
Senin, Hari pertama, bulan pertama di tahun 2007.
Bertepatan dengan Hari Perkiraan Lahir (HPL) bayi pertama kami. Betapa cemasnya saya ketika pagi itu menemukan bercak darah pada celana dalam. Untungnya, ada suami SIAGA dan langsung mengantarkan saya ke Rumah Sakit terdekat, RSUD Sleman. Karena bertepatan dengan libur tahun baru, maka dihari tersebut semua pasien masuk melalui pintu IGD. Setelah menjalani pemeriksaan standar di ruangan Instalasi Gawat Darurat, berjalanlah saya menuju ruangan bersalin. Berjalan? Iya, kondisi saya waktu itu masih sehat wal afiat, bisa berjalan normal tanpa keluhan apapun, kecuali sedikit darah lendir yang sudah mulai keluar.
Diruang bersalin, bidan piket langsung melakukan finger test. Hasilnya, belum ada bukaan pada rahim. Karena sudah memasuki HPL, saya disarankan opname sambil menunggu proses kelahiran sang jabang bayi.
Selasa, 2 Januari 2007
Kondisi saya sehat, makanpun lahap. Belum merasakan mulas seperti kebanyakan orang yang mau melahirkan. Darah lendir sudah tak lagi keluar. Lewat pemantauan gerak dan detak jantung, di ketahui detak jantung janin normal, beberapa kali kontraksi semu, namun belum ada bukaan pada rahim. Masih menunggu proses kelahiran...
Rabu, 3 Januari 2007
Kontraksi masih jarang terjadi, belum juga ada bukaan rahim. Saya mulai jenuh menunggu. Yang saya lakukan kemudian adalah mengajak ngobrol bayi saya yang masih di dalam perut, " Adik, keluar yuk! Di luar terang loh, teman-temannya juga banyak." Pagi menjelang siang, dokter memutuskan melakukan pengecekan via USG dan hasilnya detak jantung bayi masih normal, gerakan melemah karena air ketuban mulai mengering, ada pengapuran pada plasenta. Kesimpulannya: Janin harus keluar dengan segera.
Siang itu, saya diberi 2 pilihan, melahirkan normal dengan induksi, atau operasi caesar. Perasaan saya jelas tak karuan. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya masih punya tekad untuk melahirkan normal, tapi saya ingat perjuangan seorang sahabat yang melahirkan dengan induksi; konon rasa sakitnya antara hidup dan mati. Membayangkannya saja saya sudah ngeri. OK lah, demi keamanan dan keselamatan bersama, akhirnya saya memilih opsi nomor dua, sectio caesaria (sc), dengan jadwal hari Kamis, 4 Januari 2007, pukul 10.00 pagi. Setelah kesepakatan tersebut, suamipun mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan operasi esok hari.
Kamis, 4 Januari 2007, pukul 01.00 dinihari
Mau tak mau, saya harus memantapkan hati untuk menjalani operasi besok pagi. Perawatpun sudah menyuruh saya untuk memulai puasa. Tapi kenapa saya merasa ada yang tidak biasa pada perut saya ya? Rasa sakit yang datang-pergi secara berulang. Awalnya saya masih bisa menahannya sendiri. Tapi semakin lama....kok semakin sakit....perut kerass....kuencengg....semakin sering. Tak tahan, saya bangunkan suami yang tengah tertidur. Bidan jaga pun kembali melakukan finger test. "Bukaan satu" begitu kata bidan. "Memang bukaan itu sampai berapa tho mbak?" tanya saya dengan polosnya. Memang waktu itu saya belum tahu, kalau proses pembukaan rahim adalah 1-10cm. Ah, bodohnya saya.
Waktu itu hanya ada dokter residen yang berjaga. Olehnya, dinihari tersebut --diantara rasa sakit yang datang dan pergi, dengan frekuensi yang semakin sering -- saya kembali ditanting oleh dokter residen tadi, "Ibu mau mencoba persalinan normal, dengan konsekuensi begitu denyut jantung bayi melemah, kami akan lakukan sc, atau ibu memilih langsung menuju kamar operasi?"
Saya tak tahu, sampai ditahap mana proses pembukaan rahim saya. Yang saya ingat, perut semakin sering terasa kenceng, keras, mungkin setiap 5 menit sekali. Keringatpun mulai bercucuran. Suami yang ada disamping mulai saya jadikan sasaran saat menahan rasa sakit. Saya remas tangannya kuat-kuat. "Dokter, bawa saya ke ruang operasi, bius saya segara, sakittt dokter, saya nggak kuat". Jadilah dini hari itu juga, sekitar pukul 02.00 operasi caesar dilakukan.
****
Setelah sekian lama berlalu, saya masih sering penasaran, kenapa ada seorang ibu yang saat menjalani proses melahirkan, bukaan 5 saja masih bisa berjalan, sementara saya yang baru bukaan 1 saja sakitnya minta ampun? Sepertinya ada hubungannya dengan kondisi air ketuban saya yang nyaris kering. Kenapa juga saya harus mengalami oligohidromnion? Meskipun bukan satu-satunya pemicu, tapi terlalu sering dehidrasi di masa kehamilan konon juga menjadi penyebab kehamilan bermasalah ini. Ah...tapi toh semuanya sudah berlalu. Anggap saja pengalaman ini sebagai pelajaran, bukankah selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa?
Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Hamil dan melahirkan ala Bunda Salva
Karena dengan begitu, kita akan bisa merasakan perjuangan saat melahirkan :)
BalasHapusraka pipinya merah benerr...ini umur berapa hari bu?
BalasHapusraka pipinya merah benerr...ini umur berapa hari bu?
BalasHapus