Pulang jemput Raka dari Kelompok Bermain. Seperti biasa, saya memutar jalan kampung untuk menghindar agar tak lewat dari warung tempat saya belanja sayuran. Kalau tak saya gunakan strategi memutar jalan ini, Raka akan merengek-rengek minta jajan permen begitu melintas didepan warung. Saya masih sayang gigi putihnya, itu intinya.
Tapi sepertinya strategi saya hari itu tak berjalan mulus. Sukses melewati satu warung, ternyata mata raka masih bisa menangkap serentengan jajanan yang dijajakan warung satunya lagi yang memang harus saya lewati, karena hanya berjarak beberapa meter dari rumah.
Bukan rupiahnya yang saya sayangkan, tapi saya tahu, jajanan yang ia inginkan adalah makanan yang bisa dikategorikan makanan sampah alias junk food. Tapi apakah anak 2,5 tahun sudah bisa menerima kalau saya terangkan “nak, makanan itu tidak baik untuk tubuhmu, banyak MSG nya, ada bahan pewarna, ada pemanis buatan, bla..bla”Ah, tapi mudah-mudahan bisa.
Akhirnya saya biarkan siang itu Raka menangis karena tak mendapat apa yang ia mau. Setelah tangisannya reda, baru saya nasehati dia, hingga kemudian ia memilih minum susu, dan kemudian tertidur. Sudah ngantuk rupanya.
Baru dua hari yang lalu teman saya, kebetulan seorang ibu baru dengan bayi berumur 3 bulan, juga berkirim pesan, seperti ini isinya; “bu, punya referensi nggak seseorang yang punya resep macam chiki, taro, dsb tapi yang sehat, agar nanti anakku tidak kecanduan junkfood. Ntar aku pengen buat sendiri.” Karena memang tidak punya, ya akhirnya saya cuma saling cerita dan berbagi strategi.
Rupanya saya tak sendiri. Mungkin begitu banyak ibu-ibu yang khawatir dengan menjamurnya aneka jajanan, dengan kualitas yang tidak tidak terjamin, ya..karena itu tadi ..kalau tak MSG, pemanis maupun pewarna buatan plus pengawet. Idealnya sih, berbagai bahan kimia tersebut tak dikonsumsi oleh tubuh, toh ada gula tebu yang lebih sehat, daun pandan, kunir, atau daun jati yang bisa menjadi pewarna alami, atau kaldu ayam kalau ingin makanan menjadi gurih. Tapi apa daya??? Serbuan berbagai jajanan “sampah” begitu menggoda, dengan kemasan memikat, dan iklan yang gencar selalu di depan mata, anak-anak pun menjadi pasar yang begitu potensial.
Ini adalah kisah nyata. Agar Raka bisa istirahat (dan kami juga bisa leyeh2 tentunya), pada jam-jam prime time biasanya kami menghidupkan Tv. Begitu ada iklan, raka akan bertanya, “itu apa bu?” “Minuman ale-ale Ka, jawab saya, “Ale-ale bu...,” ia akan merengek. Biasanya saya akan menjawab, “Ka itu bisa bikin kamu batuk. Makan jeruk saja ya...” “yo..ben!!!” jawab raka. Begitu seterusnya... Waduh..........!! Sekian banyak memori makanan yang sudah tersimpan diotaknya, dan kemudian akan ia lampiaskan saat ia kami ajak berbelanja...
Jaman saya dulu, saya masih nrimo dengan berbagai panganan tradisional dan aneka jajan pasar, yang sampai saat inipun masih saya suka. Lebih sehat sepertinya.Tapi anak sekarang, apa masih bisa??? Yang bisa saya lakukan saat ini ya cuma meminimalisir saja.
Untuk menghindarkan berbagai zat kimia dalam makanan itu agar samasekali tak masuk ke tubuh, apa masih ada ibu yang bisa, saya masih ragu. Kadang saat Raka ikut ke pasar, dan kemudian tertarik dengan jely yang rasanya cenderung pahit, maka saya akan mencicipi dan pura2 muntah...Rakapun akhirnya hanya mencicipi sedikit, dan menyuruh saya membuang makanan tersebut....Itu satu strategi yang lain di samping memutar jalan.
Untuk stock snacknya, gak mungkin 100% buatan saya. Paling cuma agar-agar, sama-sama buatan pabrik, tapi saya berusaha mencari warna yang bening.Saya masak sendiri, dengan menambahkan gula kelapa. Cukup enak dan sehat. Yang saya herankan, kenapa ya...saya hampir tak pernah menjumpai makanan buatan pabrik yang bebas MSG, pemanis, ataupun pewarna. Kalaupun bebas MSG ataupun Mononatrium, pasti ada pemanis atau pewarna..
Seandainya saja, ada makanan yang lezat, di sukai anak-anak tapi sehatt!!
Posting Komentar
Posting Komentar