Plus Minus Kurikulum 2013 Versi Bundanya Raka

2 komentar
Sesuai dengan namanya, kurikulum ini lahir di tahun 2013. Latar belakang kehadirannya tentu saja sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP yang diterapkan semenjak tahun 2006. Tahun lalu, beberapa sekolah ditunjuk sebagai pilot project hingga otomatis hanya beberapa sekolah saja yang menggunakan kurikulum tahun 2013. Mulai ajaran baru 2014 atau sekitar bulan Juli lalu,barulah kurikulum ini diberlakukan secara serentak di seluruh wilayah nusantara, untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. 

Masih segar dalam ingatan kita beberapa bulan yang lalu, ketika kurikulum ini mulai diberlakukan. Serentetan masalah pun mengiringi, dari distribusi buku paket yang mengalami keterlambatan, sosialisasi ke para guru yang waktunya mepet, hingga keluh kesah para guru saat harus melakukan penilaian kepada para siswanya. Kesan yang kemudian muncul adalah, kurikulum ini terlalu dipaksakan pelaksanaannya. Menanggapi hal tersebut, wajar kalau kemudian muncul kebijakan dari menteri pendidikan kita yang baru ; Stop pelaksanaan kurikulum 20013 bagi sekolah yang belum siap menerapkannya.
Gambar dari static.republika.co.id


"Jadi guru itu sekarang enak kok mbak....sekarang kan anak-anak yang diberi banyak tugas. Selain itu, bisa nggak bisa mereka kan tetep naik kelas. Jadi ibaratnya saya mau ngajar 'semau gue' toh anak-anak pasti naik kelas." ( statement seorang guru SD, berstatus PNS, suatu sore beberapa bulan yang lalu ketika ia bercerita ke saya bahwa di sekolahnya yang berada di lereng bukitpun kini sudah dilengkapi wi-fi oleh pemerintah) 

Waduh...kok begitu ya, batin saya kala itu. Sudah dibiayai negara pakai uang rakyat, masih mau bekerja seenaknya sendiri. Kalau banyak oknum guru yang memiliki pemikiran serupa dengan tetangga saya itu...bisa kacau ini negara! 

Nah, kalau yang ini, saya dapatkan saat mengantar anak saya sekolah. Gerutuan seorang ibu, kalau tidak salah anaknya duduk di kelas 5. "Anakku tuh tiap hari ada saja tugasnya.. Suruh bikin kliping, tapi nggak boleh cari dari internet...harus versi cetak. Lha sekarang kalo waktu mepet, cari yang cetak kan susah...mana saya langganannya cuma tabloid wanita. Klo sudah gitu, ibunya yang repot!" Kalau gerutuan yang ini, untung saya belum melakoni. Selama ini tugas yang diberikan guru ke anak sulung saya yang duduk di kelas 2 SD masih terhandle dengan baik --meskipun adakalanya berubah posisi, tugas anak menjadi tugas ibunya :-) 

Kembali ke topik semula. Sebagai masyarakat awam, saya menilai sebenarnya tujuan dari kurikulum 2013 cukup baik. Pembelajaran dibuat tematik integratif, dengan tema-tema yang dekat dengan keseharian anak misalnya Keluargaku, Aktivitasku Sehari-hari, Mengenal gejala alam, dsb. Buku pelajaran yang dibagikan gratis dari pemerintah, yang juga sekaligus berfungsi sebagai LKS kalau saya amati, minim "catatan" atau materi tetapi lebih kepada lembaran-lembaran kerja yang mengarahkan siswa untuk berdiskusi, seperti kalau jaman saya dulu CBSA. Pertanyaan-pertanyaan pun sepertinya ada pergeseran, kalau di buku-buku kurikulum terdahulu lebih banyak kata "sebutkan"....tapi dalam buku-buku kurikulum 2013, adalah "apa yang akan kamu lakukan jika......". Poinnya adalah mengajak para siswanya kepada sesuatu yang lebih riil. 

Efek dari sistem tematik integratif, adalah buku pelajaran yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Kalau di kurikulum sebelumnya mata pelajaran IPA, IPS, Matematika, Bhs. Indonesia, PKn, Olahraga, Seni merupakan pelajaran yang berdiri sendiri, tapi dalam kurikulum 2013, beberapa pelajaran digabung. Khusus untuk jenjang SD, satu tema merupakan gabungan dari mata pelajaran Pkn, Bhs. Indonesia, IPA/IPS, Matematika, Olahraga, dan Seni. Rame kan? Yah..klo itu makanan mungkin mirip-mirip gado-gado :-) Sisi enaknya adalah muatan tas anak tak terlalu berat. Sisi repotnya adalah saat orang tua melakukan pendampingan saat belajar, terutama bagi siswa sekolah dasar, khususnya level awal. Ini yang saya alami. Karena catatan minim, susah melacak materi apa yang hari ini di berikan oleh guru, sebaliknya susah juga memberikan bekal materi untuk pelajarannya esok hari. Pernah suatu malam, saya asah Raka dengan materi hitungan, ee...ternyata esoknya sudah masuk materi penulisan tanda kapital. 

Dalam hal evaluasi hasil belajar, proses penilaian yang awalnya lebih bersifat kuantitatif, kemudian dialihkan kepada hal-hal yang sifatnya kualitatif dengan model sang guru menuliskannya dalam bentuk deskriptif ke dalam raport. Kalau diposisi orang tua, jujur saya lebih senang menerima hasil evaluasi dan prestasi anak saya dalam bentuk angka. Lebih gampang memantau seberapa pemahaman anak terhadap materi ketika yang disuguhkan adalah angka-angka. Puass rasanya kalau mendampingi anak belajar, kemudian ulangan, dan ketika dibagikan ada angka 90 atau 100 di kertas lembar jawaban. Saya yakin kalau untuk pendapat saya ini, saya tak sendiri. Kalu sifatnya deskriptif-analitis, kok sepertinya rentan dengan subyektifitas guru, sangat bisa dipengaruhi faktorlike and dislike, dan pinter-pinternya guru membuat diskripsi saja. Sayapun juga pernah menanyakan ketika ada forum orangtua-wali kelas bertemu, kalau sistem yang dipakai sekarang adalah penilaian deskriptif, penilaian bersifat kualitatif, kenapa untuk masuk ke jenjang berikutnya (SMP) yang digunakan masih saja indikator kuantitatif berupa skor UAN atau ujian sekolah? Dan jawaban yang diberikan adalah "belum ada petunjuk lebih lanjut dari dinas terkait"

Ah, sepertinya kurikulum 2013 memang mesti berbenah kembali. Tak enak rasanya menjadikan anak-anak itu sebagai bahan eksperimen sesuatu yang lahir terburu-buru. Alangkah indahnya kalau suatu saat ia datang kembali ke tengah warga, sudah dalam kondisi yang mendekati sempurna. Semoga.
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

2 komentar

  1. hmmm...aku belum ngalami. tp kalau disimak, kur 13 itu malah mirip pelajaran di TK ya. temanya alam sekitar, lalu kegiatannya mewarnai alam, menyebut benda2, dsb.

    BalasHapus
  2. Iya mbak... Ga tau juga sih, klo dari sisi anak2 lebih nyaman pke yang mana....lha raka msh kecil, jd yo blm bisa mbandingke...he2

    BalasHapus

Posting Komentar