"wah....ganti kurikulum, biaya beli buku neh yaa.... "
(Sms dari seorang teman, sesama wali murid di SD tempat anak saya sekolah)
Reply
"Iyo e..nyah, mana tanggal tuo...itu buku yang tema 6,7,8 dibarter buku kurikulum lawas ke penerbit lagi oleh ora yooo?"
send. delivered.
Trus nengok isi dompet ma kalender :-) Tapi memang belum ada dalam sejarah kok ya...buku yang sudah dibeli, trus bisa ditukarkan. Mau-maunya ibunya raka aja, demi penyelamatan anggaran belanja keluarga :-) Tapi, ada apa tho, kok tiba-tiba meributkan buku? Begini lho ceritanya..
Anak saya Raka, kelas 2 SD. Dari awal sengaja milih swasta. Pengen dia dapat bekal agama yang lebih banyak, pengen dia belajar di lingkungan yang kompetitif, dan karena faktor umur juga (waktu masuk 6,5 th). Begitu masuk kelas 1 per Agustus 2013, ia mulai belajar dengan model tematik. Buku paket yang digunakan kala itu dari penerbit platinum, dibeli secara kolektif melalui sekolah, 8 tema sekaligus dibayarkan beberapa minggu sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.
Pertengahan 2014, pembelajaran tematik-integratif diberlakukan serentak secara nasional. Raka sudah naik kelas. Kembali kami harus membeli buku tematik 1-8, kali ini dari penerbit Yudhistira. Dengan buku pendamping ini kami sangat tertolong, karena distribusi buku paket yang resmi dari pemerintah sempat tersendat hingga terlambat.
Hingga kemudian melalui pemerintahan barunya, pemerintah mengkoreksi ulang pemberlakuan kurikulum 2013.
Apa yang terjadi? Beberapa sekolah memilih langsung kembali ke kurikulum 2006, namun tak sedikit pula yang bertahan tetap melanjutkan ke kurikulum 2013. Tentu ada alasan masing-masing, yang mungkin berbeda satu sekolah dengan sekolah lain.
"Untuk semester genap ini kami akan tetap sistem tematik dulu bu, nanggung soalnya...baru kemudian nanti kami lihat sistem penerimaan untuk jenjang smp besok, sistemnya gimana....kalau masih skor ujian yang digunakan, sekolah akan kembali ke kurikulum 2006" kata ibu guru wali kelas, saat pengambilan raport akhir Desember kemarin. Sebagai orang tua, tentu saja kami setuju. Tanggung, sudah terlanjur berjalan setengah tahun. Buku-buku penunjang juga sudah lengkap ditangan.
Setelah semester genap berjalan kurang lebih 3 minggu, TERNYATA kebijakan baru diberlakukan kembali, semua sekolah di wilayah Kabupaten Sleman HARUS kembali ke kurikulum 2006, paling lambat per 28 Januari besok, semua harus kembali ke kurikulum 2006. Masa transisi yang diberikanpun sangat singkat menurut saya, 1 minggu saja. Haduh, ini bagaimana? Kalau memang harus ganti, kenapa tidak dari awal semester? atau tunggu 4 bulan lagi, ketika semester genap berakhir...? Bukankan kebijakan ini menyangkut banyak pihak?
Klo dari sisi ibu rumah tangga seperti saya, salah satu kerugiannya itu tadi, masalah buku pelajaran, jadi extra budgeting. Belum lagi harus kembali hunting buku pelajaran kurikulum lama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kalo dari sisi penerbit, wah..pasti mereka lebih repot lagi. Yang kemarin sudah ditarik, terlanjur diobral murah barangkali....sekarang harus dibuat lagi.
Anak-anak? Mungkin akan kaget, karena perubahan terjadi ditengah jalan, tapi semoga mereka cepat menyesuaikan. Tapi bagaimana lagi? Palu sudah diketok, keputusan sudah harus segera dijalankan.
Mengingat kisah kurikulum 2013, kok jadi teringat kasus E-KTP di Indonesia, serupa tapi tak sama. Menelan banyak biaya, tapi tak tau endingnya gimana....
Halo Mbak Sulis, wah.. rajin nulis, blognya penuh gak kayak blogku hehe...-
BalasHapusmumet. seharusnya dibuat peraturan atau UU atau apalah namanya, bhwa kebijakan itu tdk boleh digonta-ganti kecuali stlh sekian tahun dan harus ada sosialisasi bbrp tahun sebelum kebijakan diganti. eh bisa nggak ya? haha...
BalasHapus@ inten : nggak juga kok int...ini juga msh angin-anginan kok...masih belajar nulis. udah lupa e ilmunya...lama ga dipake
BalasHapus@mb di: entahlah...soale teori sama kenyataan di birokrasinya indonesia sering bedaaa....
@ inten : nggak juga kok int...ini juga msh angin-anginan kok...masih belajar nulis. udah lupa e ilmunya...lama ga dipake
BalasHapus@mb di: entahlah...soale teori sama kenyataan di birokrasinya indonesia sering bedaaa....