[Fiksi] Cucu Untuk Ibu

15 komentar


"Jadi, nduk Sitta sudah telat  Le? Alhamdulillah Gusti....maturnuwun..akhirnya kesampaian juga keinginan ibumu ini untuk segera momong cucu. Rudi, jaga istrimu baik-baik...sing ngati-ngati, ndak boleh kecapekan, Sitta jangan boleh angkat junjung dulu..."

"Injih bu.."

"Yo uwis...sana pulang. Kasian istrimu di rumah sendiri. Tadi kok nggak diajak ke sini sekalian?"

"Mboten Bu. Tadi Dik Sitta baru ada acara di tempatnya Bu Kadus...jadi nggak bisa ikut. Salam sungkem buat ibu saja, begitu pesannya"

Setelah berpamitan pada Ibu, segera ku stater motor, dan kutarik gas dengan kecepatan sedang. Tumben, jalanan pusat kota Jogja yang biasanya macet terasa lengang dan teramat lancar. Atau...karena hatiku sedang bahagia dan berbunga-bunga?

Menikah dan setelahnya punya keturunan, begitukah lazimnya tradisi yang ada? Seharusnya iya. Tapi kami sudah menikah selama tujuh tahun, dan sampai hari ini kami masih berdua. Bukan tanpa usaha, mulai dari konsumsi hormon dari dokter kandungan, cara pijit tradisional, terapi lintah, hingga latah ikut jadi member MLM gara-gara kepincut sama madu yang katanya ampuh untuk mengatasi masalah sulit punya keturunan. Dokter memang mendiagnosa, spermaku terlalu encer. Akhirnya aku dan istriku hanya pasrah, berserah pada-Nya. Tuhan...kami manut terhadap skenario yang telah Engkau buat.

Karena itu pula, Ibu juga seperti aku, dan juga Sitta istriku. Kami sangat-sangat berbahagia begitu jadwal tamu bulanan para wanita itu tak kunjung datang. Terlebih ketika tadi pagi istriku begitu riang keluar dari kamar mandi, dengan sebuah alat penguji kehamilan; ada dua strip merah di sana. Yess! Sebentar lagi aku akan jadi ayah. Kami akan menjadi orang tua untuk anak kami.

Fase baru pun kami mulai. Aku lihat, istriku begitu hati-hati dan begitu menjaga kehamilannya. Kemarin, kunjungan pertama kami kami ke bidan, dan setelahnya kulihat istriku tak pernah absen meminum tablet penambah darah serta susu hamilnya. Aku pun sudah mereka-reka rencana, seru juga kalau sepetak lahan belakang rumah aku tanami rumput, beberapa tanaman hias, dilengkapi dengan jalan setapak. Pasti anakku akan betah bermain-main di sana.




"Mas...kok aku nggak mual-mual ya.. Dulu Kak Nurma waktu hamil Ditto setiap pagi muntah melulu. Kenapa aku tidak?" kata istriku suatu pagi. Nurma adalah kakak Sitta yang tinggal di Jakarta. Kini ia sudah punya dua anak, Ditto dan Sekar.
"Ya..mungkin bayi kita anak baik...jadi dia tidak mau merepotkan bundanya." Jawabku menenangkan. Padahal, ilmu tentang kehamilan ini aku pun juga tidak begitu paham.

***
Gila! Cuaca tiba-tiba redup padahal barusan panas terik. Alamat akan terjadi hujan plus angin ribut. Untung sudah sampai ke kantor kembali. Yup, tinggal mengetik naskah untuk liputanku barusan, dan aku bisa sedikit leyeh-leyeh.

"Nug..kasetnya tak taruh mejamu, kamu capture dulu ya! Nanti statementnya aku potong, nggak sampe setengah jam lagi paling naskah kelar." Sebelum ke ruanganku, aku mampir sebentar ke ruang video editing. Kulihat Nugroho sedang ngobrol asyik dengan Ranti, anak bagian traffict.

Belum sepenuhnya pantat ini kuletakkan dikursi, hapeku berdering. Istriku, dan suaranya terdengar panik!

"Mas, kamu lagi dimana? Tolong cepat pulang ya, anter aku ke dokter. Tadi ada darah di celana. Seperti menstruasi kembali, padahal aku tidak jatuh atau melakukan hal berat apapun. Aku takut ada apa-apa dengan anak kita."

Ke kebut naskah liputan, ku kirim ke foldernya Mas Fais, editor naskah. Biar dia yang ngecek ulang dan rapiin. Tugasku tinggal satu, memotong statement narasumber, menyesuaikannya dengan durasi.

"Nug, ini sudah aku potong. Nanti minta tolong siapa gih gitu buat voice over-in, aku keburu-buru nih. Aku cabut dulu ya!"

***
Untung antrian dokter tidak begitu panjang. Dr. Ahmad, SpOG, pertama kali aku dan istriku ke sini, dengan alasan karena inilah dokter kandungan terdekat dari rumah. Setelah memeriksa perut Istriku dengan USG abdomen, dokter melakukan pemeriksaan ulang dengan USG transvaginal. Terlihat ia menggeleng pelan. Aku mulai ketar-ketir. Sebelum memulai menjelaskan kepada kami, kulihat tangannya menggambar sesuatu. Seperti bayi, perkembangan janin tepatnya.

"Begini Pak..Bu...seperti halnya anak-anak, janin di rahimpun memiliki tahap demi tahap perkembangan. Bentuk seperti ini, biasanya terjadi pada minggu-minggu awal kehamilan. Di usia 9 minggu, biasanya detak jantung sudah bisa terdeteksi. Sementara, janin bapak -ibu sama sekali tidak menandakan kehidupan. Tidak ada detak jantung. Ukuran kantong rahim pun jauh dari usia kehamilan sebenarnya, 12 minggu. Dengan berat hati, saya mendiagnosa blighted ovum, atau embrio tidak berkembang. "

Mendengar penjelasan dokter, tangis istriku pecah seketika. Aku sendiri? Entah seperti apa rasanya, seperti jatuh dari ketinggian. Inikah akhir dari penantian panjang kami? Baru beberapa hari yang lalu aku mengabarkan berita bahagia kepada Ibu, dan esok aku mesti meralatnya kembali?

"Pemberian obat hormonal, saya rasa sudah tidak lagi membantu Pak. Takutnya ibu justru akan mengalami pendarahan, kalau tidak segera tertangani. Kuretase adalah jalan yang terbaik."

Dokter sepertinya mengerti apa yang ada dibenakku.

"Seandainya obat masih bisa menolong anakku...semahal apapun, kami akan menebusnya Dok."


Malam itu kami pulang dengan 2 strip dupasthon. Ada harapan kami terselip diantara pil-pil mungil itu. Ya..Tuhan, jangan renggut kebahagiaan kami! Berikan detak kehidupan pada buah hati kami..

***
Sejak pulang dari dokter kandungan itu, istriku aku minta istirahat total. Aku tahu ia teramat jenuh seharian hanya berbaring, tapi bukankah ini bagian ikhtiar kami? Tak sabar aku menunggu 2 minggu lagi --ketika dupasthon itu selesai dikonsumsi. Berharap setelah itu aku bisa mendengar detak jantung anakku.

Senin, 7 Maret.
Ini hari ke 5 Sitta mengkonsumsi dupasthon . Untung aku bisa mengambil jatah libur setelah segala tugas peliputanku minggu ini selesai. Istriku mengeluh mulas dari tadi malam. Darah yang beberapa hari berhenti, tiba-tiba muncul kembali. Feelingku sudah tidak enak. Nanti malam aku akan kembali ke dr. Ahmad.

"Seperti diagnosa awal kemarin, langkah kuretase harus segera kita lakukan. Pemeriksaan via USG menunjukkan rahim sudah mengalami pembukaan. Kalau bapak setuju, setengah jam lagi ruangan siap, dan tindakan medis akan segera saya lakukan."

"Iya Dok, ndherek saja. Lakukan yang terbaik untuk istri saya."

Seandainya itu pantas, aku yakin aku dan istriku akan menangis meraung-raung. Baru sekejab kami merasakan, dan sekarang kebahagiaan kami harus terenggut. Benar-benar rasa kehilangan yang teramat sangat. Sebelum istriku dibawa perawat memasuki ruang tindakan dan mendapatkan bius total, ku genggam tangannya. Aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya isak kami yang terdengar.

"Selamat jalan Anakku...maaf, Tuhan belum memberi kesempatan kami untuk menimangmu. Maaf Ibu, kami belum bisa menggenapkan kebahagiaanmu, belum bisa memberi cucu untuk Ibu"


Tulisan ini diikutkan dalam "Hana 2nd Giveaway Cerpen Romance Kehilangan"
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

15 komentar

  1. Ini agak mirip dengan kehidupan saya mbak Sulis hanya anak saya meninggal setelah dilahirkan padahal sudah ditunggu 4 tahun lho hehe

    Ceritanya bagus mbak, saya bisa merasakan apa yang dialami Sitta, memang tragis sekali ya apa yang kita anggap sudah ada didepan mata ternyata belum tentu bisa kita miliki. Semua atas kehendak Allah.

    Semoga sukses GA nya ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak anjar...alhamdulillah akhirnya ada Vani ya, sudah dapat "pengobat" sedihnya saat ditinggal anak pertama.

      Hapus
  2. sedih banget, cerita ini mewakili kesedihan para ibu yang mengalami hal yg sama

    BalasHapus
  3. Huggg...sama dengan yg pernah kualamin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga lekas dapet gantinya ya Nit... Biar besok klo jalan2..nginep di hotel...berkeliling traveling..dah tambah anggota tim nya. Si junior.

      Hapus
  4. ini ceritanya ngalir dan enak sekali dibaca, karena ada pendukung nyata seperti pekerjaan sang suami dan obat-obat yag diberikan oleh dokter

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh, jadi tersanjung aku mbak. Makasih ya sudah mampir

      Hapus
  5. Semoga para wanita yang belum diberikan rejeki anak disegerakan ya..aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... He eh. Semoga ya mbak.terimakasih mbak sudah mampir..

      Hapus
  6. jd inget apa yg aku alamin dulu mbk, hiks

    BalasHapus
  7. andai ini kisah nyata, alangkah menyedihkannya...sementara banyak orang hamil lalu membunuh bayinya sendiri

    BalasHapus
  8. Gak kebayang sedihnya kayak apa :'(

    semoga Sitta kuat menerima cobaan yang diberikan padanya,amin..

    BalasHapus
  9. Membaca kisah ini seperti nyata. Kebetulan saya bekerja di klinik obgyn. Saya sering melihat peristiwa seperti ini :(

    Terimakasih sudah berpartisipasi :)

    BalasHapus

Posting Komentar