Beberapa buku yang dibawa perempuan itu jatuh setelah tubuh kami bertabrakan.
"Maaf Mbak, nggak sengaja. Mau ngejar itu, anak saya, nggak mau anteng. Berlarian ke sana kemari. Takutnya nanti malah mengganggu calon pembeli yang lain" Ucapku spontan sambil mengambil buku yang jatuh ke lantai. Kukembalikan ke tangannya. Setelah itu kukejar Dio dan Tia, anakku yang aktifnya minta ampun. Ah, sepertinya mengajaknya ke toko buku sebesar ini sendirian tanpa Mas Heru adalah keputusan salah. Awalnya aku mengira mereka akan anteng melihat koleksi buku anak- anak yang berwarna- warni. Ternyata dugaanku salah besar...
Ah, mending besok aku sendiri aja kalau mau ke sini. Nunggu suami libur. Sekali- kali dapat jatah me time, biar Mas Heru jagain para "aktivis" ini dirumah, sekalian ngrasain crowdednya pekerjaan ibu-ibu rumah tangga yang kesan luarnya adem-ayem-nyantai, tapi faktanya padat-merayap sepanjang hari.<
"Dio, Tia...udah ya, lari- larinya. Tu...nanti kalo Dio kepisah sama Ibu, tersesat diantara rak-rak buku, gimana? Ibu pasti bingung nyariin kamu. Beli es krim aja yuk!..."
"Ha...es krim?? mau...mau...
"Aku mau rasa coklat..."
"Aku strowberi week....dua ya bu"
Kata Tia tak mau kalah dengan kakaknya. "Ya udah, nanti kita cari..." Kataku sambil menggendong Tia, sementara satu tangan yang lain menggandeng Dio. Tujuan berikutnya adalah mencari pintu keluar toko buku ini, turun melalui eskalator ke lantai dasar. Seingatku ada gerai makanan plus eskrim di sana.
Fiuh! Niatnya mau week-end sama anak-anak. Sok heroik pergi sendiri tanpa suami, tapi kesimpulannya aku kapok! Tetep repot kalau bepergian sama duo krucil yang masih susah anteng ini kalau tanpa bala bantuan. Oalah Mas, kok ya hari libur gini kamu malah lembur ngantor tho yaaa..gerutuku dalam hati.
***
Pantas kalau resto mungil di toko buku ini begitu ramai. Libur, jam makan siang pula. Untung ada meja kosong yang tersisa. Posisinya agak nyempil, kurang bisa untuk menikmati suasana. Tapi yang penting ada kursi buat duduk Dio, sementara Tia masih seperti biasa --minta pangku.
MIRAOS. Sungguh nama yang nJawani...tapi kenapa serasa jumping dengan menu yang tersedia ya. Faktanya, resto ini menjual ayam goreng, beberapa jenis roti, burger, minuman, dan juga es krim. Sekilas dari namanya, aku membayangkan bisa menikmati semangkok soto, segelas es cendol, atau beberapa jajanan pasar yang telah dimodifikasi hingga tampak kekinian. Ah..tapi sudahlah, yang penting dua anakku segera bisa mendapatkan es krim, lalu pulang.
MIRAOS. Sungguh nama yang nJawani...tapi kenapa serasa jumping dengan menu yang tersedia ya. Faktanya, resto ini menjual ayam goreng, beberapa jenis roti, burger, minuman, dan juga es krim. Sekilas dari namanya, aku membayangkan bisa menikmati semangkok soto, segelas es cendol, atau beberapa jajanan pasar yang telah dimodifikasi hingga tampak kekinian. Ah..tapi sudahlah, yang penting dua anakku segera bisa mendapatkan es krim, lalu pulang.
"Punyaku banyak..." kata Tia pada Dio
"Punyaku lebih banyak...., ada hiasannya lagi.." Sulungku nggak mau kalah.
Ealah...ni dua krucil, pesan dua es krim yang berbeda kok ya malah memicu keributan.
"Udah..dimakan dulu..., semuanya banyak...semuanya enak. Dio...kamu lebih besar, ngemong sama adek." Kulihat wajah Dio bersungut-sungut sebentar, lalu asyik dengan es krim di depannya. Sementara, aku memilih menyuapi Tia, gadis mungilku yang bulan depan berusia 3 tahun.
"Udah..dimakan dulu..., semuanya banyak...semuanya enak. Dio...kamu lebih besar, ngemong sama adek." Kulihat wajah Dio bersungut-sungut sebentar, lalu asyik dengan es krim di depannya. Sementara, aku memilih menyuapi Tia, gadis mungilku yang bulan depan berusia 3 tahun.
"Maaf mbak..boleh gabung di sini" Tanya seorang mbak-mbak padaku. "Oh.. monggo- monggo mbak..silakan...".
Lho...kenapa ketemu lagi. Bukannya ini perempuan yang tadi tubrukan sama aku ditoko buku tadi. Kok bisa sih. Malah serasa adegan film India..
"Mm...maaf lho mbak atas kejadian tadi.., saya nggak sengaja" Aku berusaha menetralisir suasana.
"Gak pa-pa mbak. Namanya juga bawa anak kecil, pasti repot. Perkenalkan mbak, saya Desi"
"Ratih." Kubalas uluran tangannya segera. Ramah juga ni perempuan, baru ketemu sebentar sudah ngajak kenalan. Sesekali ia pun menggoda Tia atau Dio. Begitu es krim dua krucilku tandas, aku pamit meninggalkan Desi.
"Mbak, boleh minta kartu namanya? Aku bekerja di agen asuransi...siapa tahu mbak tertarik ikut program kami?".
"Oh..tapi kartu namaku dah expired, Aku dah nggak ngantor lagi ." Kayak gini mau..? Kataku sambil mengambil satu kartu nama dari dompet. Kartu nama jaman aku masih ngantor sebagai account exevutive di salah satu media cetak di kota ini.
"Klo mo hubungi...di no hape aja yaa, jangan di nomor kantor, karena pasti ndak akan ketemu," pesanku sebelum berpisah.
"Baik mbak..".
Kulihat ia segera memasukkan kartu namaku ke dalam buku agendanya. Tak perlu berlama-lama aku segera meninggalkan Desi, sebelum dua anakku membuat keributan baru lagi.
****
Selasa yang cerah. Dio sekolah, sementara Tia baru saja selesai kumandikan. Menyuapi, membereskan dapur dan cucian piring kotor sisa sarapan, menyetrika kalau memungkinkan. Deretan tugas beres-beres rumah sudah menanti untuk segera dijalankan.
Bip.
Sebuah pesan lewat Whats App, masuk ke ponselku. Dari kontak yang belum pernah kusimpan sebelumnya.
Maaf mengganggu. Ini Desi yang tempo hari ketemu. Boleh hari ini saya ketempat mbak Ratih?
Boleh, silakan. Tapi pukul 12 saya mau jemput anak. Send! Sebentar balasan pesanku sudah tercentang biru.
Kulirik jam di sudut kanan layar. Masih 4 jam lagi. Cukup waktu menurutku. "Ah..paling juga mau nawarin untuk gabung asuransi, batinku." Dan akupun kembali tenggelam dalam rutinitas ibu-ibu rumahan.
***
Sambil menghidangkan segelas teh hangat dan beberapa potong pisang goreng, ku sempatkan melirik perempuan yang duduk di depanku itu. Desi cantik juga. Meski tergolong kurus, tapi kulitnya kuning- bersih. Jilbab warna biru itu pas berpadu dengan kemeja dan celana kerja warna senada. Mm...aku taksir umurnya sekitar 2 tahun dibawahku, sekitar 32 atau 33 tahunan.
"Mm..mbak, mbak Ratih percaya nggak...kalau di dunia ini tidak ada yang kebetulan?"
"Maksud mbak Desi"?
Aku mengernyitkan kening atas pertanyaannya barusan. Meski mungkin usianya lebih muda dariku, ku gunakan kata mbak sebagai bentuk penghormatan.
"Aku nggak nyangka, bisa ketemu yang namanya Ratih Wulandari, marketing staff dari harian Suara Jogja. Aku tahunya juga setelah mbak kasih kartu nama tempo hari. Mbak, aku kesini nggak mau mrospek mbak Ratih untuk bergabung atau ikut asuransi dari kantorku, yang pasti aku mau minta maaf..."
( ada relasi apa ya antara Ratih-Desi..?) WIL nya Heru atau....? Bersambung aja yaa... *sambil cari ide
penasaran sama kelanjutannya Mbak :)
BalasHapuspenasaran sama siapa Desi sebenarnya :)
Hati-hati lho Ratih jangan begitu saja percaya pada omongannya apalagi kalau ngomong negatif, hari gini banyak penipuan lho, *eh kok malah ikutan nimbrung, hehe
BalasHapusAyo lanjutin mbak Sulis, saya udah nebak-nebak aja nih endingnya :)
Eh??? Daku ikutan bertanya-tanya nih. Lanjutannya gimana???
BalasHapusYahh mbak lagi enak2 baca malah bersambung ! kelanjutan ceritanya kapan ya mbak ?
BalasHapusHadeuhhh si mbak masih bersambung. Kirain dah beres
BalasHapusHuhh saya kaget lagi serius seriusnya baca eh malah mati lampu karena ceritanya belum selesai.
BalasHapusAhi hi hi
walah...segitu rumitnya ya hubungan mereka.
BalasHapus