Cihui, Ada Nama Saya Di Koran Pagi!

12 komentar
nama ada di koran

Menjadi anak yang "berbeda" dengan saudara kandung yang lain itu kadang berat. Iya, saya berbeda dengan dua kakak laki-laki saya. Sejak awal masuk SD, mereka selalu jadi bintang kelas, sering di kirim lomba antar sekolah, meski dijaman itu belum zamannya olimpiade sains atau lomba-lomba sains sejenis. Sementara saya? Siswa biasa-biasa saja. Bisa masuk 5 besar juga sudah menjelang lulus.

Dua kakak saya memang jago secara akademis. Dan dari lubuk hati yang paling dalam...itu membuat saya minder. Mereka bisa masuk SMA favorit, jadi penghuni kelas exacta, sementara saya? Rutin menjadi peserta remidi untuk ulangan mapel matematika, fisika, dan kimia. 

Saya ingat, kakak sulung saya sering jengkel dan marah-marah klo ngajari saya mengerjakan PR. Nggak paham-paham dan lemot klo diajari rumus dan hal-hal yang berbau hitungan. Alasan saya waktu itu satu dan teramat sederhana; pelajaran matematika dan IPA, susah dibayangkan. Itu juga yang membulatkan tekad, saya lebih memilih masuk kelas IPS. Termasuk juga karena faktor guru. Saya sudah terlanjur ngeri dengan guru matematika di sekolah. 

Baca juga :
Guru Favorit

Hingga suatu hari menjelang kelulusan orang tua saya, lebih tepatnya bapak berkata, " koe yen ora iso kuliah negeri...ora usah kuliah (kamu kalau nggak bisa masuk PTN, nggak usah kuliah). Walau biaya kuliah diera 90an masih bisa dibilang murah, tapi "gertakan" bapak cukup logis. Alasan utamanya sederhana;motif ekonomi. Bapak hanya petani biasa, sedang dua kakak saya masih berstatus mahasiswa pada PTN yang sama (UGM); satu di MIPA, satu di teknik.

Ultimatum bapak, menjadi pemantik semangat di alam bawah sadar. Saya takut nggak punya status, saya nggak mau di rumah. Saya harus kuliah. Dan hari-hari saya menjelang UMPTN adalah hari yang menegangkan. Ikut bimbingan belajar secara intensif, rajin bangun untuk sholat malam atau tahajud, berkutat dengan berbundel-bundel kumpulan soal (masih ada yang saya simpan sampai sekarang, dan setelah belasan tahun berlalu..saya malah heran, kok dulu bisa mengerjakan soal serupa).

Tes masuk jenjang Strata 1 terjalani. Saya masih was-was...takut nggak lolos. Sebagai alternatif, saya ikut pula tes untuk penerimaan mahasiswa D3 FE-UGM, gelombang 1 waktu itu. Pasca ujian, saya hanya bisa pasrah...hanya Alloh yang bisa menentukan....saya bisa kuliah atau tidak.

Hingga di bulan Agustus 1998
"Tangi...tukuo KR.."
(bangun, belilah KR -koran Kedaulatan Rakyat  maksudnya).

Kakak saya membangunkan saya sesaat setelah subuh. Kala itu, belum jamannya media online. Pengumuman hasil tes  memang hanya di umumkan di papan pengumuman di kampus dan juga melalui salah satu media cetak dengan oplah terbesar di Jogja. Dan alangkah girangnya saya...diantara deretan nama peserta lolos seleksi, ada nama dan nomor ujian saya! Yup, saya lolos untuk masuk D3 FE-UGM. Impian saya untuk bisa kuliah sudah di depan mata.

Sekitar seminggu berikutnya, hasil tes UMPTN diumumkan, melalui media yang sama, koran Kedaulatan Rakyat. Pagi sekali saya ke jalan raya, mencari anak-anak yang menjajakan koran.  Dan betapa kebahagiaan saya menjadi sempurna...saya lolos UMPTN untuk pilihan pertama. Saya bisa kuliah di universitas negeri, seperti harapan bapak. Meski itu artinya Ibu harus bisa lebih prihatin, mencukupkan semua hasil sawah untuk biaya hidup dan biaya kuliah, saya tahu beliau demikian bangga. Tiga anaknya bisa mencicip pendidikan di satu almamater yang sama.

Nggak ngerti..pengalaman dag-dig-dug..was-was, antara bisa kuliah ataukah hanya akan dirumah, dan akhirnya saya bisa lolos seperti banyak teman yang lain, begitu berkesan. Saya nggak bakalan lupa dengan polah saya yang jejingkrakan diperempatan jalan, langsung memberikan receh kembalian ke si penjual...begitu saya tahu ada nama dan nomor ujian saya dilembaran koran. Ada lagi yang lebih katrok yang saya lakukan...saya stabilo nama saya, dan saya simpan 2 edisi koran "bersejarah" itu. Bertahun-tahun, bahkan sampai saya lulus. Saya relakan dua koran bersejarah itu untuk diloakkan, setelah status saya (dulu) lolos ujian disebuah perusahaan swasta. Lebay kan saya. Ha..ha, biarin. Tapi itu nyata.


Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

12 komentar

  1. Alhamdulillah ya mba, man jadda wa jadda, lah dirimu saingannya kakak, aku loh saingannya ibuku, ibuku selalu bangga2in dirinya yg murid teladan, sakitnya tuh disini

    BalasHapus
  2. hehe ay mah ga lulus UMPTN tp tetep bisa kuliah di poltek negeri alhamdulillah :)

    BalasHapus
  3. hahah.. kebayang senengnya... seru mba.. , semoga sukses give awaynya ya..

    BalasHapus
  4. Yeay...ikut seneng mak:> jadi inget koran aq dulu juga dsimpen,sampe dibingkai-in sama si babe

    BalasHapus
  5. alhamdulilah, omongan bapak mbak iu sebenarnya pemecut buat mbak bangkit untuk gak minder lagi

    BalasHapus
  6. Keren mbak Sulis. Pasti sulit berada di posisi mbak Sulis saat itu ya, sangat tertekan dan bingung karena kalau nggak masuk negri nggak boleh kuliah :(

    Untungnya semua tekanan itu bisa menjadi semangat dan pemacu untuk lebih giat belajar dan akhirnya membuktikan bahwa mbak Sulis bisa..SALUT!!

    BalasHapus
  7. Seru mba. Hidup memang butub perjuangan ya.

    BalasHapus
  8. ternyata kerja kerasnya ada hasilnya ya... tak ada yg sia2 selama kita mau bekerja keras ya...

    BalasHapus
  9. bener-bener moment yang tak terlupakan yaa mba, selagi ada usaha yang keras InsyaAllah tercapai yaa mba

    BalasHapus
  10. kuliah di PTN memang sesuatu yang membanggakan yah Mba Sulis bukan hanya zaman dulu tapi hingga kini pun. Ada pandangan di masyarakat bahwa yang lolos ujian masuk PTN itu adalah mereka-mereka yang tak hanya pandai tapi juga beruntung :)

    terimakasih sudah berpartisipasi di GA saya Mba :*

    BalasHapus

Posting Komentar