[Fiksi] Kisah Argo, Si Anak Gunung

7 komentar
fiksi
Ilustrasi dari katamotivasi7.blogspot.co.id

Apa kabar Teman?
Perkenalkan, namaku Argo. Lengkapnya Bani Argo. Sekarang umurku 10 tahun, aku duduk di kelas 4 SD. Kata Bapak, Argo artinya gunung, sementara Bani artinya anak. Hi..hi, iya...aku memang anak gunung. Aku, Bapak, Ibu dan Adikku Lani tinggal di Kampung Turgo, sebuah kampung di Punggung Merapi. 

Aku senang tinggal di sini. Temanku banyak, termasuk si Loreng dan Poang. Ha..ha, tahu nggak siapa mereka? Mereka itu sapi-sapi peliharaan Bapak. Setiap pagi kami memerah susu Loreng dan Poang, untuk disetor ke Koperasi. Kalau sudah terkumpul banyak, susu akan diangkut ke pabrik, dan mungkin jadi minuman kalian, anak-anak yang ada di kota.

Oh..iya, ditempatmu sekarang musim apa? Di sini..hampir setiap hari turun hujan. Itu artinya, malam-malam kami menjadi lebih dingin. Hujan, kadang memang membuat repot. Aku juga harus memakai payung untuk berjalan kaki ke sekolah.  Satu lagi yang tak bisa kulakukan saat hujan... yaitu..ikut naik di atas bak truk yang penuh muatan pasir.

Tak jauh dari rumahku, ada sebuah sungai besar. Airnya sedikit...tapi pasirnya buanyaak sekali. Setiap hari, puluhan truk pengambil pasir melintas, dan aku dan teman-teman sering ikut menaikinya. Seru..! Tapi kata Bapak...harus hati-hati, bisa jatuh kalau tak terbiasa. Saat hujan turun...truk-truk itu libur, mereka takut apabila sungai banjir  dan terseret air.

Kalau ibu, aku tahu beliau suka sekali dengan hujan. Apalagi hujan yang datang setelah beberapa hari cuaca panas. "Bau tanahnya jadi enak", kata Ibu. Padahal menurutku biasa saja..malah mirip-mirip bau air putih yang sudah lama disimpan di dalam kendi. Kalian tahu kan kendi? Itu...tempat menyimpan air dari tanah liat. Mirip-mirip teko gitulah.

Yang aku tahu pasti, hujan akan membuat tanaman teh Ibu cepat bertunas kembali. Rumput-rumput kolonjono yang ditanam Bapak, juga semakin hijau. Loreng dan Poang pasti akan lahap memakannya... nyam..nyam...!


 

Tapi..tahukah teman? Adakalanya hujan membuatku takut. Aku ingat, waktu itu aku belum sekolah. Kata Ibuku, aku masih 4 tahun. Malam itu..kampung kami hujan. Tapi aku lihat ibu menangis sambil terus menggendongku. Bapak juga cuma mondar-mandir di dekat kandang Loreng dan Poang. Sepertinya beliau bingung. Sementara jalanan samping rumah ramai sekali. Para tetangga pergi berbondong-bondong, entah kemana..



Hujan di hari itu memang beda teman. Hujan yang disertai bau aneh. Hujan yang membuat aku sesak bernafas. Hujan yang membuat bajuku dan baju ibu, serta muka kami putih. Hujan abu. Kudengar dengan jelas Bapak berteriak, meski saat aku belum paham artinya, Merapi meletus! Dan karena hujan itu pula, aku pernah harus pergi dari Kampung Turgo ini, berminggu-minggu.

Teman, begitulah tempat tinggalku ini. Kalau bagi kalian hujan itu artinya air yang turun dari langit, bagi kami ada hujan yang jauh menakutkan. Hujan, yang ada setelah gunung gagah itu batuk dan muntah.



Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

7 komentar

  1. Beberapa kali saya ke Turgo, termasuk ke puncak bukitnya.

    BalasHapus
  2. Merinding saya bacanya. Jadi kebayang mereka yang tinggal di sekitar Merapi. Semoga selalu dalam lindungan Allah.

    Fiksi sederhana yang bergizi. Saya suka. Salam kenal untuk Argo. :)

    BalasHapus
  3. Sukses GAnya.. semoga menang ^^

    BalasHapus
  4. Berkunjung lagi kemari. Semoga sukses ya, Mbak.

    BalasHapus
  5. Tinggal didaerah gunung Merapi memang harus waspada ya mbak, disatu sisi pemandangan dan lingkungannya sejuk, disisi lain bencana gunung meletus bisa saja terjadi.

    Sukses GA nya ya mbak, semoga menang aamiin :)

    BalasHapus
  6. Hujan abu ketika terjadi menyeramkan, tapi katanya mampu memnyuburkan tanah :)

    BalasHapus

Posting Komentar