Image: www.pixabay.com |
Pagi ini sepertinya wajahku benar-benar berubah. Oh, iya..namaku Warsi. Kata orang, hari ini aku akan menjadi ratu sehari. Sejak lepas subuh tadi Yu Jinem, perias manten terbaik di kampungku telah melukis wajahku dengan berbagai warna.
“Aduh, kok jadi berat gini Yu... Rasanya jadi aneh kalau di pakai berkedip”, keluhku sesaat setelah Yu Jinem menempelkan sepasang bulu mata palsu di mataku. Kepalaku pun terasa puyeng saat rambut asliku ditambahi dengan gelung sebesar buah kelapa. Sebagai sentuhan terakhir, Yu Jinem menambahkan sejuntai melati yang telah dironce, yang kemudian ditancapkan di gelung.
“Nah, wis rampung Si, wis ndang ngilo”, ujar Yu Jinem sambil memberiku sebuah cermin bundar. “Lumayan, paling tidak hari ini aku terlihat berbeda dengan hari-hari kemarin”, batinku.
Kata orang, hari ini aku akan menjadi ratu sehari. Umurku kini 35 tahun. Usia yang tidak lagi bisa dibilang muda, terlebih bagi perempuan desa sepertiku. Kini, aku sudah memiliki wajah baru. Ku lirik laki-laki yang duduk tak jauh dariku. Ternyata kini giliran wajahnya yang dipermak oleh Yu Jinem. Ah..siapa nama lengkapnya? Aku lupa. Yang aku tahu, orang-orang desa memanggilnya Trisno. Yang pasti, sebentar lagi laki-laki itu akan menjadi suamiku. Sesaat lagi kami akan menjadi sepasang pengantin.
Kata orang, menjadi ratu itu menyenangkan. Tapi apakah hari ini aku senang? Untuk pertanyaan ini sepertinya aku harus berpikir ulang sebelum menjawabnya. Tapi paling tidak hari ini kulihat binar bahagia di mata orang tuaku. Saat di rias tadi, beberapa kali bapak melongok ke ruangan ini sambil tersenyum. Apalagi simbok, baginya hari ini adalah hari besar yang melebihi meriahnya hari raya Lebaran. Bahkan untuk mengantarkan anak gadisnya ke gerbang pernikahan, ia rela menukar sekarung beras hasil panen dengan sebuah baju kebaya warna putih yang kini kukenakan.
Hari ini aku terlihat lebih cantik. Bisa jadi. Tapi aku masih ingat gunjingan-gunjingan para tetangga tempo hari. Warsi perawan tua, gadis tak laku, atau perempuan kesepian menjadi predikat yang melekat, yang mau tak mau membuatku sedih, membuat perasaan orang tuaku remuk redam.
Di kampung ini, aku memang tak lagi memiliki teman-teman perempuan yang sebaya. Bisa dikatakan, semuanya telah beranak pinak, dan mengikuti suaminya. Tapi semuanya berubah, saat laki-laki itu datang bersama kedua orang tuanya. Dari simbok aku tahu, ternyata mereka datang untuk meminangku. Memintaku untuk bersedia menjadi istri kang Trisno, duda cukup kaya yang ditinggal mati istrinya 5 bulan lalu. Tanpa meminta pertimbangan dariku, simbok dan bapak langsung menganggukkan kepala. Begitu juga saat keluarga itu menentukan sebuah tanggal istimewa. Hari ini.
Aku menikah di usia kepala tiga, tentu itu juga bukan kemauanku. Wajahku memang tak terlalu cantik, tapi aku tahu kulitku bersih. Badanku pun tak terlalu pendek. Kalau aku boleh memilih, pasti aku akan menikah sembilan atau sepuluh tahun lalu, dengan laki-laki pilihanku.
Laki-laki pilihan? Sekali dalam hidupku, aku merasa bergetar saat bertemu, melayang saat kulit kami saling bersentuhan. Kang Anam, hanya ia lah yang pernah membuatku mabuk kepayang.
Dulunya, aku berpikir dialah laki-laki yang dikirimkan Tuhan untukku. Saat itu, aku kira darinyalah aku akan memiliki anak-anak yang lucu dan pintar. Tapi semuanya ternyata tinggal kenangan. Jakarta telah mengambil kang Anam dariku, dari kampung di balik bukit ini. Kota itu telah membuatnya sedemikian berubah. Kabar terakhir yang aku tahu, kini ia telah menikah dengan teman sepabrik dimana ia bekerja. Yang paling membuatku pilu, ia tak lagi ingat janji-janjinya padaku dulu.
Hatiku memang telah tertutup. Itulah yang kemudian mengantarku pada predikat-predikat buruk yang menambah mendung di wajah bapak dan simbok. Tapi hari ini, tak lagi kulihat mendung itu. Sepertinya, orang tuaku benar-benar bahagia.
“Nduk Warsi, Trisno...pak naib wis teko, mantene ndang metuo..”, suara bapak memecah lamunanku. Dari luar, kudengar gending Jawa itu telah diputar. Artinya sepasang pengantin harus segera keluar, dan siap untuk dinikahkan.
Apakah aku bahagia dengan pernikahan ini? Aku jadi ingat sederet kata yang aku temukan di pembungkus tempe kemarin sore, entah siapa yang menulisnya. ”Kebahagiaan sejati adalah melihat orang-orang di sekeliling kita berbahagia karena perbuatan yang telah kita lakukan”. Aku berharap, meski bukan karena pilihanku sendiri, hari ini aku tak salah melangkah.
”Kebahagiaan sejati adalah melihat orang-orang di sekeliling kita berbahagia karena perbuatan yang telah kita lakukan” Nice quotes, Mbak. :D
BalasHapusHi..hi, terimakasih mb Anisa..
Hapusahhh...ga ngerti harus bahagia atau sedih untuk warsi.
BalasHapussemoga dia akhirnya berbahagia.
Aamiin...happy ending aja, biar yang mbaca lega..😀
Hapus”Kebahagiaan sejati adalah melihat orang-orang di sekeliling kita berbahagia karena perbuatan yang telah kita lakukan”
BalasHapusMungkin kata2 ini yg tulis penjual tempe,, supaya org dipernikahan yg makan tempe dia menjadi bahagia.., asiik
Wkk..wkk...padahal jarang lho yaa nikahan pke menu tempe.. *eh, ada ding. Wong nikahannya sederhana kok yaa.
HapusMksh sudah mampir
menurut ustad kemed juga bahwa ketika kita ingin merasakan kebahagiaan yang hakiki, berbuatlah untuk orang lain berbahagia atas kita....gituh, cenah mah
BalasHapusSip! Sepakat..
HapusTerimakasih sudah mampir😀
Daripada merindukan lelaki yang sudah melupakan, lebih baik belajar mencintai lelaki yang mau menerima apa adanya. Witing tresno jalaran soko kulino. Diniatkan ibadah saja, in shaa Allah, rasa cinta itu akan tumbuh perlahan-lahan dan bisa melupakan kenangan yang menyakitkan :)
BalasHapus* Weduhh, malah seperti menasehati Warsi ni ya, mbak Sulis :)
Gpp mb..siapa tahu, siapa tahu mb anjar jd ketahuan bakatnya sebagai penasehat pernikahan..he..he .
HapusMksh mb. Eh..kinoy kmn, lama bnget nggak muncul
Jalan bahagia itu telah dimulai :)
BalasHapusYess, diniati bismillah..
HapusMaturnuwun pak, sudah mampir😀
keren mba fiksinya, aku terhanyut sm ceritanya. semoga warsi berbahagia kelak
BalasHapusAamiin...
HapusMakasih ya mb ophi..
Aku terhanyut dengan kisah Warsi, semoga dia selalu bahagia dengan pernikahannya
BalasHapus😀😀 terimakasih mb..
Hapusentah mengapa feelingku mengatakan Warsi akan bahagia dengan Trisno :)
BalasHapusdilanjutin dong Mbaa ceritanya :)
Waaa...jadi cerbung nantinya mb..Eh, tapi idenya ditampung dulu. Kali aja muncul ide..😀😀
Hapusaku suka fiksinya mba.... baca ini berasa kayak baca kisah beneran gitu... ngalir bgt, natural :).. dan endingnya bikin kita nebak2 sendiri akhirnya gmn... aku sih pgnnya warsi akhirnya bisa bahagia dgn tresno :D
BalasHapus