Perempuan di Tengah Budaya Patriarki. Laki-laki, lebih bahagia dari Perempuan? Survai membuktikan, ternyata Iya. Nggak percaya? Baca aja tulisan mba Nurin, Laki-Laki Hidup Lebih Bahagia, Kok Bisa di postingan trigger KEBlogger Collaboration kelompok Mira Lesmana yang telah tayang beberapa hari lalu.
Jadi mba Nurin dan teman-temannya BPS ini, bulan Agustus lalu barusan melakukan pengukuran Indeks Kebahagiaan terhadap laki-laki dan perempuan. Parameter yang dipakai banyak banget, tapi secara garis besar meliputi 3 dimensi yakni kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup, dan jreng-jreng...kesimpulannya adalah bahwa indeks kebahagiaan laki-laki sekian poin lebih tinggi dibanding dengan indeks kebahagiaan perempuan.
Wow, ternyata laki-laki lebih bahagia, lebih bisa menikmati hidup! Kok bisa ya? Padahal selama ini seolah-olah mereka membawa beban berat..mana kepala rumah tangga, tulang rusuk wanita, imam keluarga, tapi ternyata, mereka lebih bahagia.
Menurut pengamatan saya, ada faktor gawan bayi alias faktor bawaan yang dimiliki para laki-laki, hingga ia terlihat lebih menikmati hidup dibanding perempuan, misalnya:
- Para laki-laki ogah mencampurkan rasa dan logika. Beda banget sama perempuan yang dikit-dikit bawa perasaan.
- Rata-rata kaum cowok cenderung lebih simpel dibanding perempuan. Kebanyakan kaum adam akan selalu berprinsip kalau bisa dipermudah, kenapa dibikin rumit?
Mars Vs Venus itu nyata lah pokoknya. Klo faktor bawaan bayi, oke lah..kita nggak bisa berbuat banyak. Tapi, menurut saya ada faktor budaya yang sangat mengenakkan laki-laki, dan nggak begitu menguntungkan buat perempuan, yakni budaya PATRIARKI. Saya kok curiga klo ini pengaruhnya signifikan banget bagi level kebahagian seorang perempuan.
Secara gampang, patriarki dapat diartikan sebagai sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kelas utama. Laki-laki dominan, dan memiliki posisi sosial yang lebih tinggi daripada perempuan.
Ngefek ya? Ya jelas. Efek berikutnya adalah perbedaan perlakuan, peluang dan kesempatan yang tak lagi sama, hak yang berbeda, hingga yang paling parah adalah sistem sosial ini banyak menempatkan wanita sebagai korban.
Ingat beberapa nasehat jaman masih remaja..
"Perempuan itu belajar secukupnya saja..nggak perlu terlalu tinggi..toh nanti balik lagi di dapur sama sumur"
"Hus, jangan ngerokok! Kayak perempuan nakal.
"Anak gadis nggak boleh keluar malam-malam, ntar dikira gadis murahan.."
Beda banget sama anak laki-laki, karena laki-laki yang berpendidikan itu idaman, laki-laki yang ngerokok itu normal, dan laki-laki yang pulang larut malam itu wajar. Nggak adil banget kan! Kalau diperlakukan secara tak adil, gimana mau bahagia.
Ada lagi. Kasus video mesum atau pornografi, atau kasus-kasus yang didalamnya melibatkan dua jenis kelamin, paling sering yang dapat getahnya perempuan. Padahal ngelakuinnya partner-an. Tuh, kan..nggak fair.
Mengikis Budaya Patriarki
Namanya budaya, sistem sosial yang sudah begitu lama mengakar kuat dalam masyarakat, pastinya akan susah diubah. Menghilangkannya secara cepat, jelas nggak mungkin. Yang bisa kita lakukan, ya mengikisnya pelan, dan memberi penyadaran bahwa laki-laki dan perempuan memang diciptakan berbeda, tapi mereka setara.
Penyadaran paling penting, ya kepada laki-laki, karena selama ini mereka yang paling diuntungkan. Penyadaran berikutnya, kepada perempuan sendiri, karena kadang-kadang perempuan itu aneh, dikasih kesempatan untuk maju dan berkembang eh..nggak dimanfaatin. Kalo laki-laki dan perempuan ditempatkan setara, saya yakin kok mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang sama.
tapi emang lebih banyak bener nya si sama tulisan mba nurin
BalasHapusSetauku, perempuan lebih "setrong" dari laki laki kalau saya liat para ibu dg segala perjuangannya.
BalasHapusMeskipun hari ini banyak wanita yg jadi korban kekerasan
wow..setuju banget dengan tulisan ini. tapi sebagai kepala keluarga laki2 memang egonya lebih tinggi , betul ngga ya, kadang mgk ada perasaan takut disaingi atau gimana. Disini laki2 dan perempuan harus belajar untuk saling menghargai.
BalasHapusNah, iya mbak Sulis. Parahnya, saya cukup sering memperhatikan, Kalau kejadian *amit2* hamidun, lingkungan selalu meyalahkan si perempuan, yang ga bisa jaga dirilah, kenapa ngasih kesempatanlah, Koq mau-maunya lah dll. Bahkan ada tetangga yg ketauan menjelang UN SMA, si perempuan di keluarin dari sekolah, sementara si lelaki tetap boleh menyelesaikan UN. Ga fair! Gimana sebagai sesama perempuan ga jadi baper kalau begini
BalasHapusNah, iya mbak Sulis. Parahnya, saya cukup sering memperhatikan, Kalau kejadian *amit2* hamidun, lingkungan selalu meyalahkan si perempuan, yang ga bisa jaga dirilah, kenapa ngasih kesempatanlah, Koq mau-maunya lah dll. Bahkan ada tetangga yg ketauan menjelang UN SMA, si perempuan di keluarin dari sekolah, sementara si lelaki tetap boleh menyelesaikan UN. Ga fair! Gimana sebagai sesama perempuan ga jadi baper kalau begini
BalasHapusTapi jaman sekarang perasaan perempuan semakin mendominasi deh. Beasiswa lebih banyak diberikan pada perempuan.. pekerjaan juga gitu...makanya laki2 banyak yg jadi stress lalu malah .... bahaya sih kalo laki2 pengangguran stress...
BalasHapusdi kota ma di desa mungkin bisa beda ya. di kota mungkin kesempatan perempuan untuk maju lebih banyak.
BalasHapusada sih contoh ketidakbahagiaan yang sepele bgt tp betul banget. tetanggaku pernah bilang dia kesal sama suaminya krn pijet ke tukang pijet perempuan.
"pingin aku bales, tapi ga boleh," katanya.
trus aku mikir. iya juga ya. kok laki-laki lebih bebas gitu.
ya ini kasus aja sih. palingan juga nanti disuruhnya sama orang-orang untuk ngomong baik-baik ke sang suami. biar ga miskom. ya tapi tentu ga sesederhana itu kan.
intinya sih, semua berhak bahagia. tapi jangan juga karena pingin bahagia lalu menuntut hak terlalu banyak dan melupakan kewajiban.
Berarti, kalo boleh disimpulkan, ga gampang baper dan cenderung milih yang gampang aja deh, itu faktor penting yang bisa membuat hidup bahagia ya, Mbak...
BalasHapusWanita apa2 dibawa perasaan jadinya banyak pikiran. Terus rempong juga kali, hihihi
BalasHapusTulisan Mb Sulis banyak benernya. Di kehidupan nyata masih banyak laki-laki yang merasa posisinya di atas perempuan. Dan masih banyak perempuan juga yang mendukung statment itu. Contoh kecilnya, kalau lihat lelaki masak di dapur. Masih ada loh, perempuan bilang " Kok suaminya yang masak ". Adeeeeuuuh...
BalasHapusPerbedaan genre ini dulu yg saya alami ketika masih tinggal dg seseorang (bukan ortu saya). Bahkan dari sisi makanan pun, 2 lelaki di rumah beliau sangat diperhatikan makanan utamanya. Perempuan cukup sisanya. Apa hikmahnya untuk diri saya? Kerja keraslah bila ingin makan enak :)
BalasHapusdari luarnya memang kadang kelihatannya perempuan lebih strong, ya, mbak. tapi di balik itu ada beban yang besar juga ditanggungnya ya
BalasHapusBetul banget ya Mbak Sulis, stigma tersebut harus diubah perlahan-lahan supaya tercipta atmosfir yang saling menghargai antara laki-laki dan perempuan.
BalasHapus