Media, anak-anak, dan Pornografi

6 komentar
media, anak-anak dan pornografi

"Siapa yang tahu jaran goyang?? 
Suasana masih hening. Anak-anak kelihatan saling pandang antar teman, sembari mengulum senyum. Malu-malu, tapi sepertinya mereka tahu.

Hapal lagu Bojo galak??

Seorang anak, namanya Angga. Siswa kelas 5 karena pernah sekelas pas kelas 3 dengan Raka, mengangkat tangan. Teman-teman dan beberapa orang tua yang di belakang tertawa. Saya lihat, bapaknya Angga yang siang itu menjadi salah satu perwakilan orang tua, senyum-senyum melihat reaksi anaknya.

"Tahu artinya di Tinggal rabi?" Tanya wanita berseragam polisi di depan beberapa siswa kelas 4 dan 5 SD. Iptu Sriyati, salah satu personel polisi wanita dari Polres Sleman Yogyakarta.

Awalnya anak-anak tampak senyum-senyum, saling lirik ke teman, tapi kemudian ada satu anak mengacungkan jari, dan kemudian di susul beberapa anak yang lain.

"Tahu artinya ditinggal rabi..?"

Dan anak itupun menjawab.. "ditinggal mati.."

Sontak tawa riuh memenuhi aula SD, rata-rata dari para orang tua atau wali. Saya juga ikut tertawa, geli.

Ah..anak-anak, kadang mereka hapal lirik lagu, tapi nggak ngerti artinya..apalagi maknanya.

"Kalian tahu pornografi?" Iptu Sriyati kembali bertanya. Anak-anak diam. Sementara para orang tua deg-degan. Salah satu siswa perempuan mengangkat tangan, kemudian menjawab: "gambar saru bu...gambar orang nggak pake baju"

"Sudah pernah melihat gambar atau video yang saru...?"

Suasana sepi. Anak-anak saling melihat. Para guru dan orang tua sepertinya deg-deg an. Penasaran.

Seorang anak laki-laki berperawakan gembul mengangkat tangan. Siswa kelas 4. 

"Ayo..nggak usah takut. Kalau kalian jujur...berarti kalian ksatria. Ksatria itu hebat!!" Kata Ibu Sriyati berikutnya.

Siswa yang mengangkat tangan tadi, terlihat bangga dengan pujian dari bu polisi. Ia senang mendapat pujian sebagai ksatria.

Ha..ha, anak-anak memang polos! 

Dua anak yang lain segera menyusul mengangkat tangan. Tanpa rasa bersalah atau takut. Ibu atau ayahnya saja yang mungkin menjadi terkejut. Untung bukan Raka. 

"Kalian melihat gambar porno dari mana?"

Facebook. Satu anak menjawab.

Instagram.  Anak yang lain menambahkan.

"Terimakasih... Kalian hebat. Tapi besok, tidak usah diulang yaaa.... Itu tidak baik, dan berbahaya.." Pesan Iptu Sriyati kepada anak-anak. 

Beberapa saat kemudian, video tentang bahaya pornografi yang bahkan lebih membahayakan dari efek Napza diputarkan, untuk anak-anak dan para orang tua.

***

Apa yang saya tulis di atas, adalah realitas ketika saya selaku orang tua mengikuti Sosialisasi Pencegahan Bullying dan Pornografi dalam Rangka Inisiasi Sekolah Rawan Anak, di SDnya Raka, beberapa hari lalu.

Sasarannya, anak-anak kelas 4 dan 5 SD plus orang tua atau wali mereka. Nggak semua anak atau orang tua, tapi perwakilan saja, sekitar 6 orang/kelas.

Ada 3 sub tema, dengan 3 narasumber sebenarnya. Tapi sub tema menjauhkan anak dari pornografi inilah yang menurut saya paling membukakan mata banyak orang tua. 

Smartphone, teknologi, internet,  benar-benar menjadi mata pisau. Ia bisa sangat berguna seandainya digunakan secara tepat. Tapi ia akan berbahaya bila disalahgunakan. Misalnya, berada ditangan anak-anak, tanpa pengawasan.

Dalam forum ini pula, Iptu Sriyati membeberkan kasus-kasus terkait kasus pornografi yang melibatkan anak-anak yang pernah ia tangani, dalam posisinya sebagai seorang polisi. Ngeri. 

Semoga kita dan anak cucu dijauhkan dari hal-hal buruk..Amiin. 

Dengan melihat tayangan, mendengar berbagai cerita dengan penyampain yang menarik, saya harap acara ini tersimpan di memorinya anak-anak. Anak-anak yang sudah terlanjur "tercemari" dengan pornografi --seberapapun kadarnya, menjadi tahu dan nggak akan ngulangi.

Kalau saya sebagi orang tua? Semakin terbuka matanya. Bukan jamannya lagi menganggap pendidikan seks sebagai urusan yang tabu. Seks, dalam arti luas tentunya, bukan sebatas adegan uyel-uyelan di atas ranjang.

Bahwa anak-anakpun perlu tahu, dengan catatan di sesuaikan dengan umur dan saya tangkap mereka. Empat point pendidikan seks bagi anak yang saya tangkap siang itu meliputi:

Harus dilakukan oleh orang terdekat. Dalam hal ini, orang tua memiliki porsi yang paling besar. Benar, memang anak akan mendapatkan materi itu di sekolah, tapi karena dalan keseharian orang tualah yang paling banyak membersamai anak..jadi orang tua tetap memegang kontrol.

Disesuaikan dengan daya tangkap anak. Jadi salah sebenarnya kalo membiarkan anak mencari tahu sendiri, menjawab penasaran mereka tentang hal-hal yang terkait sex educationhanya mengandalkan media. Masih menurut Sriyati, pendidikan seks seyogyanya dimulai dari 0 tahun. Tentunya dengan materi+bahasa menyesuaikan anak-anak.

Pemantauan terus menerus. Ini terkait bahaya smartphone bagi tumbuh suburnya pornografi di kalangan anak. Kata kuncinya, batasi dan kontrol. Sementara point yang terakhir adalah, berikan penjelasan ke anak segamblang mungkin.

Tantangan bagi orang tua untuk mengasuh dan membersamai anak-anak di jaman digital. Saya, kita! 
Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

6 komentar

  1. ketika anak-anak sudah memegang handphone, harus di awasi dan ditemani ya mbak.

    BalasHapus
  2. sebenernya kebijakan orangtua sih. kalo anaknya sudah diizinkan memakai hp, orangtua pasti tahu resiko baik dan buruknya. apalagi soal pornografi. kalo memang boleh memakai HP tanggung jawab ortua lbh ekstra utk mengawasi.

    BalasHapus
  3. Itulah pentingnya pengawasan ya, Mbak. Karena internet juga bisa mengerikan kalau anak-anak menggunakannya tanpa filter

    BalasHapus
  4. Ini makanya sebenernya socmed itu digunakan, setidaknya usia SMP deh. Kalaupun memang usia di bawah itu menonton youtube, tetap ada pendampingan ortu. Moga anak2 dijauhkan dari tontonan yang nggak baik ya, mba.

    BalasHapus
  5. ketika saya ngajar dulu (kelas 5) masalah ini selalu muncul tiap minggu
    susahnya jaman sekarang
    apalagi kalau yg orang tuanya sibuk
    aduh jadi gurunya juga harus lebih proaktif lagi

    BalasHapus
  6. Waktu perpisahan SD anakku dulu, ada yg tampil anak kelas 4, nyanyi cinta satu malam. Udah gitu, ibunya ngasih instruksi dari depan panggung biar anaknya semangat. Aku kok kesel banget lihatnya. Lebih kesel lagi sama panitia perpisahan yg mengijinkan lagu tsb tampil.

    BalasHapus

Posting Komentar