“Bu..aku ujian matematikanya dapat 833 , trus IPA nya 940, Bahasa Indonesia 875.. Kata Bu Guru tinggal nunggu nggabungin sama hasil koreksi soal essay...”
“Ya..syukurlah. Lha Essaynya gimana kemarin, kira-kira, beneran bisa?”
“Bisa kok! Matematika sulit, tapi tetep tak isi jawaban, sebisanya.”
Beberapa hari kemarin, saya sudah merasa sedikit tenang. Pulang dari sekolah, si sulung membawa kabar mengenai prediksi nilai USBN nya. Iya, masih prediksi karena penghitungan masih berdasarkan lembar jawab komputer bayangan yang di kumpulkan anak-anak setelah selesai mengerjakan USBN, namun belum digabung dengan 5 soal essay, jadi masih bisa berubah. Harapannya sih bisa nambah, nggak justru jadi berkurang. Minta tolong diAamiinkan yaa..
USBN Kelar, Berikutnya Ketemu Sama Zonasi
Mengacu pada permendikbud nomor 51 tahun 2018, sejak tahun kemarin, ada perubahan signifikan dalam sistem Penerimaan siswa baru yang diterapkan sekolah, mulai dari SD sampai SMA/SMK. Sesuai lingkupnya yang bersifat nasional, tentu saja peraturan itu juga berlaku untuk semua sekolah negeri yang ada di Jogja.
Tahun kemarin, saya masih belum begitu ngeh. Cuma sekedar tahu, kalau kebijakan zonasi bisa berbeda antar kabupaten. Oh, iya satu lagi, karena sistem zonasi keponakan yang meskipun nilai USBN tinggi, harus ikhlas terlempar ke pilihan ke 2, karena kalah bersaing dengan calon siswa lain yang secara jarak, rumahnya lebih dekat dengan sekolah.
Anaknya sedih, mamanya sedih. Apalagi tergesernya bukan karena skor yang tidak memenuhi syarat; tetapi lokasi rumah-sekolah yang kurang dekat. Pastinya sangat kecewa. Sudah sungguh-sungguh belajar untuk mendapatkan hasil terbaik dan mampu bersaing memperebutkan kursi di SMP idaman, tapi kalah sama yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah.
Anaknya sedih, mamanya sedih. Apalagi tergesernya bukan karena skor yang tidak memenuhi syarat; tetapi lokasi rumah-sekolah yang kurang dekat. Pastinya sangat kecewa. Sudah sungguh-sungguh belajar untuk mendapatkan hasil terbaik dan mampu bersaing memperebutkan kursi di SMP idaman, tapi kalah sama yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah.
Bukan salah si anak sebenarnya, tapi kenapa akhirnya si anak tidak bisa sekolah di SMP yang ia inginkan? Padahal secara skor, buanyak yang secara skor jauh lebih rendah, justru bisa diterima. Ya, balik ke itu tadi; karena penerapan sistem zonasi dalam proses PPDB. Akan ada yang diuntungkan, tapi ada juga yang akan menjadi korban dari sebuah kebijakan.
Lalu, bagimana dengan JUKNIS PPDB SMPN 2019?
Meskipun baru tahun 2018 diterapkan, ternyata ada perubahan (lagi) dalam Juknis PPDB 2019 kali ini. Yang sudah beredar di masyarakat, untuk propinsi Yogyakarta, yang saya tahu baru wilayah kota dan Kabupaten Sleman.
Untuk wilayah Kota Yogyakarta, sistem zonasi dibagi dalam 4 kategori, yaitu bibit unggul, zonasi wilayah, zonasi mutu, dan zonasi ekonomi tidak mampu, dengan persentase yang berbeda-beda.
Di Sleman, tempat dimana saya tinggal, meski secara prinsip zonasinya masih mirip dengan sistem PPDB tahun lalu, tapi ada perubahan dalam sistem penambahan skor, terlebih untuk anak-anak dengan jarak domisili yang terdekat dengan sekolah, seperti tertuang dalam kebijakan berikut ini
Sumber: Dinas pendidikan Kabupaten Sleman. Saat blogpost ini saya tulis, masih dalam tahap sosialisasi |
Sebenarnya, kami diuntungkan dengan sistem zonasi ini. Sekitar 3 kilometer dari rumah, ada sebuah SMP Negeri yang selama ini reputasinya bagus. Input yang bagus, dengan output yang rata-rata bagus juga. Secara lokasi, meski bukan termasuk radius 200m, tapi masih termasuk dalam kawasan 1 zona.
Juknis final PPDB siswa baru di wilayah Kabupaten Sleman, bisa di unduh di tautan ini
Juknis final PPDB siswa baru di wilayah Kabupaten Sleman, bisa di unduh di tautan ini
Tapi , kalau boleh jujur, saya sebagai orang tua lebih ngerasa fair dengan sistem PPDB sistem lama. Nggak usah pake tambah-tambahan poin.
Kalau memang modal awalnya skor USBN, ya sudah pakai itu saja. Berasa tidak adil dengan anak-anak yang secara domilisi jauh dengan sekolah-sekolah berfasilitas lengkap. Mau anak sekolah di dalam kecamatan, di luar kecamatan, antar kabupaten ya terserah, tanpa batasan zona. Anak kan punya hak pilih. Anak-anak desa, juga punya hak untuk mencicip sekolah di kota. Kalau mereka memang bisa, kenapa harus dibatasi? Pihak orang tua sebenarnya juga punya alasan dalam memilihkan sekolah untuk anak. Jalurnya searah dengan tempat kerja orang tua misalnya atau karena cocok dengan lingkungan sekolahan.
Kalau memang modal awalnya skor USBN, ya sudah pakai itu saja. Berasa tidak adil dengan anak-anak yang secara domilisi jauh dengan sekolah-sekolah berfasilitas lengkap. Mau anak sekolah di dalam kecamatan, di luar kecamatan, antar kabupaten ya terserah, tanpa batasan zona. Anak kan punya hak pilih. Anak-anak desa, juga punya hak untuk mencicip sekolah di kota. Kalau mereka memang bisa, kenapa harus dibatasi? Pihak orang tua sebenarnya juga punya alasan dalam memilihkan sekolah untuk anak. Jalurnya searah dengan tempat kerja orang tua misalnya atau karena cocok dengan lingkungan sekolahan.
Tapi sistem lama mbikin kasta dalam sistem pendidikan mbakyu? Ntar ada label sekolah favorit...sekolah biasa...sama sekolah “buangan”? Dengan zonasi kan nantinya akan ada pemerataan..
Iya, harapannya seperti itu memang. Tapi yakin !? Dan bakal ratanya itu berapa tahun? Mau sampai berapa kali ganti kebijakan? Itu lho yang bikin kami orang tua ngeluh. Mirip, pas pertengahan SD kemarin tiba-tiba ganti kurikulum, tengah semester lagi.
Lha wong ibarat orang lomba lari, start point para sekolah-sekolah negeri itu juga berbeda. Catet, meski statusnya sama-sama negeri, tapi fasilitas, SDM antar sekolah negeri itu juga beda-beda. Kalau kemudian diminta harus sama rata, ya susah.
Saya nggak sukanya, kalau yang kemudian muncul adalah makin banyak orang curang gara-gara peraturan.
Bukan rahasia lagi kan, kalau zonasi membuat orang-orang kemudian tiba-tiba mbikin surat domisili palsu, berpura-pura miskin untuk bisa mengantongi KK miskin, nitipin anak ke KK lain yang rumahnya se zona dengan sekolah idaman.
Pernah juga kan mendengar keluhan guru dan sambat anak-anak yang harus nunggu temannya dalam memahami materi pelajaran. “Aku tu..udah paham materi itu, dia belum. Harus nunggu semua paham ya?”
Bukan rahasia lagi kan, kalau zonasi membuat orang-orang kemudian tiba-tiba mbikin surat domisili palsu, berpura-pura miskin untuk bisa mengantongi KK miskin, nitipin anak ke KK lain yang rumahnya se zona dengan sekolah idaman.
Pernah juga kan mendengar keluhan guru dan sambat anak-anak yang harus nunggu temannya dalam memahami materi pelajaran. “Aku tu..udah paham materi itu, dia belum. Harus nunggu semua paham ya?”
Semua demi pemerataan. Padahal sejak kecil saya diajarkan, untuk menang kamu harus berjuang, bukan menunggu kue pembangunan dibagi sama rata. Itu yang kemudian membuat saya maklum ketika Raka nyletuk “Enak yang rumahnya dekat sekolahan yo Bu...rasah sinau, ketambahan biji akeh”. “Sayangnya rumah kita nggak dekat banget sama sekolahan”, jawab saya.
Ada sih, SMP negeri terdekat. Paling cuma 1 kilometeran dari rumah. Tapi saya sering lihat murid-muridnya pada nongkrong-nongkrong di luar sekolah, padahal jam belajar. PPDB belum dimulai. Menurut peraturan, 28 Juni nanti pendaftaran PPDB online akan dimulai. Meski ini pertama kalinya saya ikut tata tertib zonasi (anak-anak di SD swasta), ada aturan baru, semoga si sulung bisa diterima di SMP Negeri yang ia inginkan. Aamiin.
Hmm...aku ya resah nih. SMP negeri cuma 2 di kecamatanku. SMP yang bagus, lebih dekat dg rumah.
BalasHapusTapi bener, yakin bisa jujur?
Ada pesimisme ini, jangan-jangan ntar banyak titipan.
Udah lama banget ga denger atau ngobrol beginian, terimakasih Bunda, saya bisa ikutan komen
BalasHapusSemoga nilainya bagus ya. Depan rumahku padahal anak guru SMPN kota tapi tetap harus SMPN di Sleman padahal SDnya dulu di kota & dia juara. Padahal rumah kami nggak jauh dari perbatasan dengan kota. Sebenarnya agak aneh kalau zonasi diterapkan di DIY karena kota Yogyakarta itu wilayahnya kecil saja & sekolah bagus semua ngumpul di kota. Padahal jaman sekarang, sedikiiiit banget keluarga yg bisa beli rumah di kota, rata2 rumah kabupaten walaupun kerja di kota. Paling2 yg punya rumah di kota itu dapat warisan dari simbahnya. Sekolah kota rata2 sudah bagus fasilitasnya, pada pakai AC. Kesenjangan fasilitasnya jauh banget.
BalasHapus