Beberapa hari ini, lini masa media sosial saya dipenuhi dengan hal-hal yang berbau "Tilik", film pendek yang mendapatkan penghargaan sebagai Maya Award for Best Short Film. Tentang bagaimana jalan cerita film berdurasi sekitar setengah jam tersebut, bisa langsung dicari via youtube.
Rata-rata komentar tentang film tersebut menyorot jalan cerita, ataupun tingkah para pelakonnya. Tokoh yang paling banyak mendapatkan sorotan tentu saja Bu Tejo, perempuan yang memiliki bakat investigasi, berbibir “menggemaskan” dengan prilakunya yang kadang njelehi; tukang gosip dan suka pamer.
Sederhana namun mengena. Poin itu yang menjadikan film ini seperti “meledak”, bahkan dalam hitungan jam dari pertamakali “Tilik” diunggah di channel Youtube Ravacana Film.
Yang jelas, Tilik mampu meracik dengan apik kehidupan masyarakat pedesaan yang terkenal dengan nilai guyup rukun, tapi rentan gosip. Bagaimana para ibu yang serasa tak pernah kehabisan topik obrolan saat berkumpul, pergi bersama-sama dengan moda transportasi se adanya, digambarkan film ini dengan gamblang.
Dialog berbahasa Jawa yang medhok , menjadikan penonton yang memiliki ikatan batin dengan Jogja menjadi semakin merasa dekat. Ditambah lagi penyajian gambar di film ini yang menurut saya ciamik banget. Paling suka pas truk rombongan Bu Tedjo melintas di areal persawahan, dengan teknik pengambilan gambar ekstrem long shoot. Bagus dan enak banget dilihat!
Melihat pesan dan cara penyajian "TILIK", tiba-tiba saya teringat sesuatu. Jaman masih SMP –akhir dekade 90an Jogja dalam hal ini TVRI Yogyakarta pernah menayangkan dram seri yang kehadirannya waktu itu selalu dinanti penontonnya; MBANGUN DESO
"Tilik" dan "Mbangun Deso," memiliki banyak persamaan. Mereka adalah dua drama dengan topik utama kehidupan masyarakat desa dengan segala permasalahannya. Kalau di Tilik kita mengenal Yu Sum, Yu Ning, dan juga Bu Tejo, maka di Mbangun Deso ada Pak Bina, sosok yang digambarkan bijak, Sronto yang selalu kalah dan terlihat selalu memelas, Kuriman yang emosional dan juga Den Baguse Ngarso dengan sifat yang 11-12 dengan Bu Tejo; Ceplas-ceplos spontan, tapi sering menyakitkan.
Den Baguse Ngarso, tokoh yang karakternya mirip dengan Bu Tejo di film pendek "Tilik" |
Bu Tejo adalah versi lain dari Den Baguse Ngarso
Kenapa “Mbangun Deso” tidak se viral “Tilik”? Karena ia muncul jauh sebelum media sosial lahir. Ia populer, tapi tidak sampai viral. Waktu itu "Mbangun Deso" hanya tayang di stasiunTV dengan jangkauan yang sifatnya lokal (TVRI Yogyakarta). Untuk publikasi, paling sedikit terbantu dengan keberadaan media cetak. Bahkan saat ini beberapa pemain utama dalam “Mbangun Deso” sudah meninggal dunia.
Berbeda dengan “Tilik” yang hanya memiliki 1 episode (laiya, wong namanya film pendek) “Mbangun Deso” diproduksi dalam banyak episode. Rata-rata 1 isue dalam 1 tayangan berdurasi setengah jam.
Dalam hal cinematografi, jelas tayangan “Mbangun Deso” kalah teknologi. Namun begitu, dari segi pesan dan penjiwaan para pemain, menurut saya “Tilik” dan “Mbangun Deso” ini setara. Mereka adalah tayangan-tayangan layak tonton yang tak hanya memberikan hiburan semata, namun juga mampu menyampaikan “teguran” kepada penontonnya.
Berikut salah satu episode tayangan Mbangun Deso, yang didokumenkan di Youtube oleh akun @tvri Yogyakarta Official
Sik, sik. Aku kok lali karo kuriman ya. Googling sik. Den baguse ngarso cen kuat karaktere. Nganti seprene wong isih pd kelingan.
BalasHapusJaman semono ki tvri yogya top tenan. Paling seneng nonton mbangun desa kr kethoprak sayembara.
Tilik ngobati kangenku, lis. Mungkin sg gawe viral kuwi. Wong jogja sg nang tanah sebrang (nek aku sebrang kali) dadi ky nemokke bagian uripe sing ilang.
Logat, kosakata. Terutama kuwi. Nek mung pemandangan, kuwi mung ragane, dudu ruhe.
Dawa kiii komentare.
Iyo. Kethoprak sayembara...eling juga...itu bisa bikin heboh orang se kampung. Hanya ada satu channel waktu kui, dan semua mata menonton hal yang sama....
HapusJebul di YouTube bnyk film2 pendek yang berkualitas Yo mba..selain tilik, aku liat anak lanang...
Real banget tema ceritanya..