Saatnya Menjadi Smart Netizen; Yuk, Cek Fakta Kebenaran Berita!

1 komentar

Ting!

Notif WA masuk pada smartphone  berbunyi.  Cepat saya buka, karena siapa tahu ada informasi penting. Rupanya dari grup sekolah si sulung. Sebuah pesan masuk.  Pesan forward-an, dengan pengirim  Ibu Wali Kelas. 

“ Assalamualaikum wr.wb. Bapak Ibu mohon untuk memberitahukan kepada putra-putrinya mulai nanti malam dilarang berkeliaran di luar rumah atau berkerumun karena Ibu Bupati bersama satpol PP dan Satgas Covid 19 akan razia keliling dengan membawa mobil GDS. Bagi yang terjaring akan diangkut di mobil untuk dikarantina di mobil untuk di karantina, wali murid dan gurunya akan dipanggil. Juga razia masker bagi yang tidak memakai masker disuruh menyemprot lingkungan radius 1000 meter. Mohon untuk dishare di paguyuban hari ini juga. Terimakasih. Wassalamualaikum wr.wb” 

Kening saya berkerut. Saya ulang lagi membaca.  Isinya bagus, menghimbau para orang tua untuk memantau anak-anak dan mengkondisikan mereka untuk tetap di rumah. Tapi apakah informasi yang saya peroleh ini benar? 

Sepertinya tidak masuk akal. Pemilihan katanya saya rasa tidak pas untuk sebuah himbaun resmi. Tapi kenapa guru wali kelas —yang notabene golongan terdidik-- menshare informasi ini?

Untung, dari sebuah media mainstream saya mendapatkan sebuah informasi kalau pesan tersebut tidak terbukti kebenarannya alias hoaks. Saya salin tautan, dan kirim link berita tersebut ke dalam WAG. 

Di tangan saya, berita tadi berhenti. Dari pilihan bahasa, ketidakjelasan sumber, saya yakin ini informasi bohong, atau hoaks. Tapi entah di tangan penerima pesan  yang lain, bisa jadi berita ini juga akan berhenti, mungkin pula akan langsung tersebar cepat ke nomor-nomor atau grup-grup yang lain.

Pernah juga kan mengalami kejadian serupa?


Beragam Hoaks Bertebaran di Sekitar Kita

“Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi seolah-olah benar adanya. Tujuan dari penyebaran berita bohong ini adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman dan kebingungan”

Stop hoaks


Internet membuat informasi bisa begitu cepat kita dapat. Saat ini, sadar atau tidak siapapun dapat memproduksi dan mendistribusikan informasi, bahkan tanpa moderasi.  Setiap orang dapat menjadi produsen pesan,  tinggal tekan tombol share, dan informasipun menyebar. Akibatnya, akan sulit membedakan mana pesan yang benar, mana pesan yang salah. Akan terjadi banyak misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

Misinformasi adalah penyebaran informasi yang salah, tetapi si penyebar tidak tahu kalau informasi yang disebarkan adalah informasi yang tidak valid. Persis seperti cerita kiriman WA dari wali kelas anak  yang sudah saya ceritakan diawal. Disinformasi adalah penyebaran informasi yang salah, meskipun yang menyebarkan sebanarnya sudah tahu kalau informasinya salah. Ada kepentingan tertentu dibalik penyebarab pesan/informasi seperti membuat panik, bingung, abai, dan sebagainya. Sementara dalam malinformasi, pesan yang dibawa sebenarnya benar, tapi sayangnya informasi tersebut digunakan untuk mengancam seseorang/kelompok tertentu.

Menurut hasil penelitian perusahaan media asal Inggris, We Are Social  yang dirilis bulan Februari 2021, menunjukkan bahwa 61,8  masyarakat Indonesia merupakan pengguna aktif media sosial, dan mengaksesnya dengan durasi rata-rata 3 jam/hari. Sementara itu, hasil survai Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa  media sosial, televisi, dan Whatsapp merupakan media terpopuler bagi responden untuk mendapatkan informasi, termasuk informasi kesehatan terkait Covid-19.

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia berada di urutan ke empat kategori pengguna internet terbesar di dunia. Sayangnya, potensi tersebut tidak diimbangi  dengan literasi digital yang memadai. Tingkat literasi Indonesia menempati urutan ke-70 di dunia (tempo.com). Hal ini menjadi lahan yang subur bagi persebaran berita bohong atau hoaks dalam masyarakat. Termasuk hoaks kesehatan.

Sebaran hoaks di indonesia
1471 hoaks terkait covid 19 tersebar diberbagai media hingga 11 Maret 2021. Angka yang fantastis bukan?


Artikel terkait : Seru juga Saat Semua Bermain Media Sosial, Tapi....

Atasi Penyebaran Hoaks dengan Menguji Kebenaran Berita

Banjir informasi yang tidak dibarengi dengan literasi digital yang mencukupi, cenderung membuat penerima berita/penerima informasi menyebarkan tanpa memverifikasi terlebih dahulu kebenaran berita tersebut.

Yang kita butuhkan saat ini adalah sikap kritis. Pikirkan dulu apa dampak dari berita/pesan yang kita buat/kita terima. Thinking, before  posting/sharing. Pun sebagai penerima berita, bukan waktunya lagi menelan mentah-mentah informasi yang kita dapatkan. Kita harus kritis, cek fakta terlebih dahulu saat mendapatkan informasi atau berita. Poin itulah  yang saya tangkap saat mempunyai kesempatan untuk mengikuti  2 hari kelas online dari Tempo Institute bersama beberapa blogger pertengahan bulan Juni lalu.

Beberapa cara sederhana yang bisa kita lakukan adalah 

  • Mencari referensi lain, terutama dari situs  online resmi/ media mainstream. Hampir semua situs berita besar yang terpercaya telah memiliki tim cek fakta yang bertugas melakukan verifiksi sebuah informasi, apakah benar atau hoaks. 
  • Cari berita/informasi dari portal berita terpercaya. Hati-hati dengan judul provokatif ataupun clickbait.  Bandingkan berita dengan apa yang ditulis/dilaporkan media mainstream. Menurut catatan dewan pers, ada sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita.
  • Periksa fakta, cek keaslian foto maupun video 

Verifikasi Foto

Jeli. Itu modal yang utama untuk mengetahui kesesuaian foto dengan informasi yang diberikan. Kita bisa memperhatikan tanda-tanda khusus yang bisa diidentifikasi seperti nama gedung, toko, bentuk bangunan, plat nomor kendaraan, dan sebagainya. Setelah itu, beberapa tools ini bisa digunakan untuk memverifikasi foto:

  • Google Reverse Image. Tools ini bisa digunakan untuk mencari unggahan foto pertama pada sebuah website. Tools ini berguna untuk menelusuri foto-foto yang diambil dari internet.
  • Reverse Image dari Yandex. Yandex adalah sebuah search engine dari Rusia yang sangat bagus untuk melakukan penelusuran foto, terutama untuk mengekplorasi situs-situs dari Eropa Timur
  • Reverse Image dari Tineye bisa digunakan untuk penelusuran foto dengan kelebihan memiliki filter berdasarkan urutan waktu
  • Alternatif tools lainnya adalah bing.com milik Microsoft dan Baidu

Memverifikasi Video

Ada dua langkah untuk memverifikasi/menguji kebenaran suatu video.  Pertama, lacak video menggunakan kata kunci di mesin pencari atau media sosial. Kedua, memfragmentasi video tersebut menjadi gambar. Ada dua cara untuk memfragmentasi video menjadi gambar, yaitu secara manual (dengan screen capture) maupun menggunakan tool InVID.

Kalau ditanya lebih praktis mana, jelaslah praktis menggunakan InVID. Aplikasi ini memiliki fitur fragmentasi video dan reverse image tool sekaligus, dapat memfragmentasi video dan reverse image tool sekaligis, dapat memfragmentasi video dari seluruh tautan media sosial dan file lokal dan dilengkapi fitur lain seperti memeriksa metadata dan analisis forensik foto.

Jadi,  bareng-bareng yuk kita jadi smart netizen. Mulai sekarang, kita niatkan diri untuk berperan sebagai pembuat dan penerima informasi yang kritis. 

Sulis
Hai, saya Sulis! Seorang ibu dari raka-alya, pernah menjadi jurnalis di sebuah tv lokal di Jogja, bisa dihubungi di raka.adhi(at) gmail.com, sulistiyowatitri98(at) yahoo.co.id, atau t.sulistiyowati80(at)gmail.com

Related Posts

1 komentar



  1. Jangankan berita seperti berita pengumuman di atas berita akan terjadi bencana alam seperti berita besok akan terjadi gempa banyak orang yang terdidik atau tidak terdidik yang langsung men-share-nya tanpa cross check terlebih dahulu padahal berita seperti itu kan ngga masuk di akal.

    BalasHapus

Posting Komentar