Pandemi belum juga teratasi. Pemberlakuan PPKM darurat, PPKM berskala, maupun segala pembatasan mobilitas lainnya membuat saya lebih akrab dengan aplikasi hiburan dan film.
Hingga kemudian memutuskan untuk melihat film Indonesia dengan judul MARS.
Memang lumayan aneh judulnya. Kalau kalian mbayangin ini sebagai fillm futuristik yang berkisah tentang kehidupan astronot atau misi penjelajahan Planet Mars, teman-teman salah besar. MARS merupakan film bergenre drama, karena MARS merupakan kependekan dari Mimpi Ananda Raih Semesta.
Mimpi Ananda Raih Semesta
Mimpi Ananda Raih Semesta atau kita singkat menjadi MARS aja biar ringkes, merupakan salah satu film drama Indonesia yang dirilis pada awal Mei 2016. Saya nontonnya sih barusan, meskipun film ini sudah ada di deretan filmnya VIU sejak pertengahan bulan Juni lalu. Rupanya MARS merupakan judul Novel yang kemudian di fillm kan. Mirip Wedding Agreement; berawal dari tulisan, lantas diubah ke format film/sinema.
Disutradarai Sahrul Gibran, MARS melibatkan beberapa aktor dan aktris ternama, seperti Kinaryosih (Tupon) , Acha Septriasa(Sekar dewasa), Cholidil Asadil Alam (Ustad Ali), Teuku Refnu Wikana (Surip) dan Chelsea Riansy (Sekar kecil). Film Mars diproduksi Multi Buana Kreasindo bekerjasama dengan Leica Production.
Sepanjang durasi film yakni 105 menit, sebagai penonton awam saya menangkap hal-hal yang menurut saya mengurangi poin plusnya film MARS ini. Sekali lagi, ini versi saya pribadi. Kalau menurut teman-teman, bisa jadi akan berbeda. Beberapa hal aneh tersebut diantaranya:
Make Up aktris kurang pas
Adegan film dibuka dengan sebuah prosesi wisuda dimana ada Sekar/ Acha Septriasa di dalamnya. Di kesempatan tersebut Acha mendapatkan kehormatan untuk berpidato di depan wisudawan/wisudawati (Bisa jadi karena ia lulusan terbaik). Pada kesempatan tersebut, ia bercerita kalau orang yang paling berjasa dibalik kesuksesannya selama ini adalah orangtua, terutama ibunya.
Kemudian alurpun mundur ke jaman Sekar kecil.
Ada Kinaryosih (Tupon) , Chelsea Riansy (Sekar kecil), dan ayahnya yang tinggal di salah satu pedesaan di Gunung Kidul. Sekar kecil hidup didalam keluarga miskin, namun hangat dan memiliki kesadaran yang tinggi tentang pendidikan. Hal tersebut tergambar jelas pada moment Tupon yang sangat bersemangat mendaftarkan Sekar ke sekolah, rela menjual ternak untuk membeli seragam, dan rela hujan-hujanan di malam hari demi bisa membeli pensil untuk mengerjakan PR.
Nah, film menjadi nggak asyik ketika sudah sampai Sekar dewasa. Ada Acha Septriasa yang menggantikan Chelsea Riansy, tapi Kinaryosih tetap berperan sebagai Tupon.
Memang sih, ada kekuatan make up yang berusaha mengubah Kinaryosih menjadi sosok yang lebih tua. Tapi entah kenapa, kalau saya amati kok jadinya aneh. Kalau dari segi wajah, Sekar dewasa dan Tupon jadi kayak kakak adik, tapi kalau menilik gaya busana Tupon, mereka jadi kayak nenek-cucu.
Setting waktu tidak begitu jelas
Kalau setting lokasi, film ini berlatarkan kehidupan masyarakat Gunung Kidul, Yogyakarta. Tapi Sekar lahir di Era Sueharto, Habibi, Gusdur, Megawati atau SBY saya nggak bisa menebak.
Melihat materi pelajaran yang diterima Sekar (latihan membaca dengan metode Ini Budi, Ini Bapak Budi, dst) dan juga gaya berpakaian Tupon (masih menggunakan kebaya dan jarit), saya membayangkan si Sekar ini generasi lahiran 80-an.
Di film tersebut itu diceritakan, selepas SMA Sekar dan Tupon pergi ke kota Jogja.
Nah, saat adegan daerah Malioboro ini yang mbuat alis saya berkerut karena ada saya melihat mobil yang lahir di era 2000-an yang ikut keambil gambarnya di film yang (kayaknya) bersetting waktu tahun 80-90an.
Atau memang Sekar remaja di era 2000-an?
Tapi kenapa kurikulumnya SDnya masih belajar mbaca dengan metode Ini Ibu Budi dan Ini Bapak Budi? Kenapa juga model baju Tupon sangat kuno? Meskipun diceritakan mereka tinggal di Pegunungan, tapi di dunia nyata, Gunung Kidul tidak se-terpelosok yang digambarkan di film. Ibu-ibu muda era 80-an dan 90an udah pake rok/daster lah jaman segitu.
Nonton film, serasa nonton kethoprak |
Logic cerita kurang rapi
Di bagian awal film, ada adegan Tupon yang ngos-ngosan mengayuh sepeda untuk sampai ke sekolah Sekar. Ceritanya mereka mau mendaftar. Jadi yang nonton pasti akan mbayangin jarak permukiman penduduk-sekolah itu jauuuh.
Nah, saat si Sekar sudah masuk sekolah..kenapa Sekar jalan kaki dan justru bisa membolos ke rumah kakeknya dengan mudah, tanpa si Ibunya tahu? Logikanya, kalau jaraknya jauh...pastilah si anak akan diantar-jemput ke sekolah.
Nah, Sekar ini sempat ditolak di sekolah karena kurang umur (Padahal sistem PPDB SD berdasar umur ini barusan aja diterapin, sekarang lah. Kalau jaman dulu (jamannya mbaca pake Ini Ibu Budi,Ini Bapak Budi) aturan untuk sekolah belum begitu ketat. Di pelosok lagi.. Ibaratnya, anak mau ndaftar dan ikut sekolah itu sudah Alhamdulillah.
Alur cerita terkesan dipaksakan
Kalau saya bilang, separuh film ini mengisahkan Sekar anak-anak dan separuhnya saat Sekar dewasa.
Diadegan awal, ada adegan dimana beberapa masyarakat lokal tengah melakukan upacara adat (mengelilingi pohon sambil membawa aneka rupa sesaji). Ada sosok Ustad Ali yang terlihat geleng-geleng dengan pandangan yang kayaknya meremehkan. Saya rasa, ini adegan yang agak-agak intoleran. Bisa jadi kan, mereka itu pemeluk Hindu yang tengah menjalankan ritual agama? Karena faktanya di Gunung Kidul, ada daerah yang mayoritas memeluk agama Hindu.
Prestasi Sekar yang menjadi tokoh central dalam film ini juga sangat kurang tergambarkan.
Ada suatu hari dimana diceritakan Sekar ketemu dengan salah satu tokoh astronomi terkenal bernama Kasih Kaldafi. Nah, sebenarnya nya si Kasih Kaldafi ini yang rencananya akan menjadi narasumber/pemateri dalam sebuah seminar. Tapi, karena percaya dengan kemampuan Sekar, posisi narasumber pun berpindah. Sekar yang kemudian menjadi narasumber.
Pertama, saya penasaran dengan sosok Kasih Kaldafi ini. Nama seorang astronom Indonesia beneran kah? Saya nyoba Googling, kok nggak ketemu. Rupanya, si Kasih Kaldafi ini juga hanya tokoh rekaan alias fiksi.
Selain menjadi pembicara seminar dimana audience dibikin terpesona (sementara penonton film nggak bisa tahu si Sekar ngomong apa pas di seminar) prestasinya Sekar nggak banyak diceritakan di film ini. Taunya Sekar keluar dari ruangan, difoto banyak wartawan, dan sudah. Itu doang.
Terlepas dari beberapa hal "aneh" dalam film ini, tapi secara umum, pesan dalam film ini cukup bagus. Intinya, agar kita tidak takut untuk punya mimpi, menaruh harapan pada anak-anak.
Tupon yang tinggal di desa terpencil, diceritakan sebagai ibu yang buta huruf tapi karena keuletannya akhirnya bisa berhasil memiliki anak yang pintar, bahkan bisa menjadi ahli astronomi dan mendapatkan gelar masternya di Oxford University.
wahahha ngamati aja mba lis keanehan keanehannya
BalasHapusaku juga aneh yen misal wong enom dikei peran wong tuwek...kenaoa ga sekalian oake aktress lawas aja yangvdah sepuh kan biar kelihatan natural hihi
sesungguhnya aku ga patio sreg nek lakone acha...agian bosen nek lakone dia lagi dan dia lagi...pengen ada regenerasi baru hihi
Iki mergo judule gabut. Arep update blog...kok kegiatane mung glundang glundung ning ngomah...akhire nonton film...jebul film e rodo aneh nit 😀
Hapusiya mbak film ini setting waktunya agak nanggung
BalasHapusmau jadul banget tapi kok kayak masih aneh ya
He eh, setting waktunya sepertinya kacau..atau aku yang bingung aja liatnya.
HapusDisitu ada adegan si artis naik angkot jadul (angkot di jogja taun 80-90an)..eh, ada xenia atau avanza lewat.. xenia/avanza lair tahun 2003-2004 an klo ga kliru.
Hahahahah aku kebayang Ama semua keanehan yg ada, itulah Krn ga memperdulikan detil. Jadi berasa aneh. Jadi inget Ama film heart zaman si Acha dan irwinsyah. Orang2 pada histeris, aku malah memperhatikan detil yg ga masuk logika wkwkwkwkwk. Konyol yg ada.. Aku mendingan nonton AADC berkali2 drpd film heart .
BalasHapusUntuk mars ini, rasanya cukup terbayang filmnya dgn baca review dari mba aja :D.
Iyakah mb?Malah jadi penasaran lihat detailnya heart 😀
HapusDulu aku nonton juga...malah di bioskop jaman itu. Tapi ya gitu deh... Cuma liat yang main cantik-ganteng aja..
Berarti kayak film Gundala setting waktunya bingungin Mbak. Kayak era antara thn 60, 70, 80 an tp kok orang2 udah punya ponsel pintar: D
Hapus